Selasa, 27 Agustus 2013

Indonesia Tanpa Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme(Sepilis) : Membongkar Makar Ideologi Amerika Serikat dan Kaki Tangannya

Oleh: Artawijaya
Editor Pustaka Al Kautsar
Menyikapi upaya segelintir orang yang terdiri dari kelompok liberal, begundal, gay, homo, dan lesbi yang menyuarakan propaganda pembubaran ormas yang bergerak dalam penegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka umat Islam yang mayoritas di negeri ini perlu bersatu, menggalang dukungan, dan mencanangkan program umat: “Indonesia Tanpa Sepilis.” Sepilis adalah akronim dari Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme, kumpulan ideologi sesat yang telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Tulisan bersambung ini akan membongkar makar ideologi Amerika Serikat dan para kompradornya di Indonesia yang menjajakan dan mengasong ideologi kotor, Sepilis!
Rand Corporation, lembaga nirlaba asal Amerika Serikat pada 2007 silam menurunkan hasil penelitian dan laporan berjudul “Building Moderate Moslem Networks” yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Bernard, Lowell H. Schwartz, dan Pieter Sickle. Sebagai lembaga think tank, hasil penelitian dan laporan Rand Corporation sering digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai rekomendasi untuk menerapkan kebijakan negeri Paman Sam itu di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Islam. Seperti tertera dalam laporan tersebut, penelitian tentang “Membangun Jaringan Muslim Moderat” disponsori oleh Smith Richardson Foundation, sebuah yayasan yang berdiri sejak tahun 1935.
Smith Rachardson Foundation memiliki konsen pada dua isu penting yang sangat berpengaruh bagi kepentingan hegemoni Amerika Serikat, yaitu International Security (Keamanan Internasional) danForeign Policy (Kebijakan Luar Negeri). Karenanya, yayasan ini mensponsori penelitian tentang bagaimana menciptakan “Jaringan Muslim Moderat” di berbagai belahan dunia. Meski tak secara jelas tersirat, namun arah dari upaya membangun jaringan muslim moderat ini sangatlah jelas, yaitu meredam, meminimalisir, bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai “ekstremisme Islam” dan menjadi ancaman bagi hegemoni AS. Inilah arah dari program besar mereka.
Sebagai negara yang mengaku super power, Amerika Serikat berusaha mengamankan “national interest” (kepentingan nasional) mereka, yang lagi-lagi anehnya, Amerika Serikat seolah mengklaim national interest mereka tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Amerika Serikat tidak ingin national interest mereka itu terganggu oleh kelompok-kelompok anti Amerika, yang bisa berakibat pada runtuhnya hegemoni mereka. Ironisnya, upaya untuk mengamankan national interest Amerika Serikat dilakukan dengan cara menjajah negeri-negeri kaya, mengeruk hasil buminya, dan menyebarkan permusuhan terhadap kelompok fundamentalis yang berpegang teguh pada upaya-upaya penegakkan syariat Islam. Penjajahan bidang ekonomi, dilakukan dengan cara menekan pemerintah, G to G, agar membuat kebijakan yang menguntungkan imprealisme mereka. Sementara penjajahan dalam bidang sosial, politik, budaya, dan pemikiran dilakukan dengan cara menciptakan “potential partner” (partner potensial) untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai “ekstremisme Islam.”
Siapa saja potensial partner yang direkomendasikan oleh Rand Corporation kepada Amerika Serikat?
Pada ranah sosial, prioritas yang akan dirangkul oleh Amerika Serikat untuk membangun saluran propaganda hegemonis mereka dan memerangi ekstremisme Islam adalah: Pertama, intelektual atau akademisi yang sekular dan liberal. Kedua, cendekiawan muda religius yang moderat. Ketiga, komunitas aktivis (sekular). Keempat, kelompok perempuan yang aktif dalam propaganda kesetaraan gender. Kelima, jurnalis dan penulis moderat. Elemen-elemen tersebut diharapkan bisa menjadi corong propaganda dengan program-program pendidikan demokrasi, jaringan media moderat untuk melawan media-media konservatis Muslim yang anti terhadap demokrasi, memasarkan ide kesetaraan gender, dan melakukan advokasi.
Dalam pembukaan riset papernya tersebut, Rand Corporation menulis, “Kelompok radikal telah sukses melakukan intimidasi, marginalisasi, dan pembungkaman terhadap kelompok muslim moderat…bahkan di Indonesia kelompok radikal relatif telah melakukan upaya pemaksaan dan ancaman kekerasan untuk mengintimidasi kelompok yang berseberangan dengan mereka. Ulama-ulama radikal telah mengeluarkan fatwa yang bisa menjadi otorisasi bagi pembunuhan kelompok liberal yang dianggap murtad…”. Rand Corporation menegaskan, kelompok Muslim moderat, liberal, dan sekular, adalah kelompok yang bisa dijadikan partner potensial dalam melawan kelompok radikal/ekstremis Islam.Khusus untuk kelompok moderat, Rand Corporation menambahkan istilah moderat tradisionalis, termasuk kalangan sufi.
Berikut penjelasan dan definisi mengenai ketiga partner potensial Amerika Serikat dalam memerangi apa yang mereka sebut “ekstremisme Islam”:
Pertama, Kelompok sekular. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka yang menolak campur tangan agama dalam urusan negara, dan berusaha membuat undang-undang sekular sebagai konstitusi negara. Bagi mereka, negara tak boleh memasukkan nilai-nilai agama tertentu, yang kemudian mengintervensi hak-hak mereka secara luas. Karena itu ketika Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan, mereka selalu berteriak bahwa negara tak boleh mengatur urusan privat rakyatnya, seperti cara berpakaian, dan lain sebagainya yang dianggap sebagai hak privasi seseorang. Intinya, negara tak boleh mengintervensi jika ada masyarakat yang ingin menampakkan pusar, dada, ataupun paha di depan umum, dengan alasan privasi. Kelompok sekular ini kemudian berteriak lantang, “My body is my right, tubuhku adalah hakku“. Siapa pun tak berhak mengatur atau mengintervensi.
Kelompok Muslim liberal. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka yang meyakini bahwa kebenaran nilai-nilai Islam sejalan dengan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, kebebasan individu, dan kesetaraan. Kelompok Muslim liberal ini, menurut Rand, bisa berasal dari kalangan muslim, yang berusaha membangun harmoni antara nilai-nilai Islam dengan dunia modern. Rand menyebut satu contoh sosok liberal yang berasal dari kalangan tradisionalis, yaitu Ulil Abshar Abdalla, tokoh dan penggerak Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini berkiprah di Partai Demokrat.
Kelompok moderat tradisionalis dan kalangan sufi. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai kelompok yang menentang gerakan Salafi dan Wahabi, yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisi dan keyakinan kelompok sufi.Untuk itu, kelompok tradisional moderat yang terpancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, membuat propaganda tentang bahaya kelompok Salafi Wahabi dan memunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu’ serta membuat beragam stigamatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “Wahabisasi Global”, bahaya “ideologi trans-nasional”, bahaya ”ideologi puritan radikal” dan lain sebagainya yang justru seperti menari di atas tabuhan genderang Barat yang memang berupaya memecah belah umat Islam.
Sedangkan kelompok sufi dirangkul untuk membentuk komunitas-komunita sufi perkotaan (urban sufism)dengan melakukan program-program kajian berkedok spiritual kebatinan dengan balutan nama keren seperti new age movement (gerakan era baru). Kelompok-kelompok ini mengajarkan meditasi, yoga, mind control, dan lain sebagainya. Islam, bagi mereka seolah hanya perkara batin saja, sehingga mereka membuang jauh-jauh ajaran Islam yang dianggap sebagai radikalisme dan kekerasan, seperti ajaran tentang jihad, hukum jinayat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Syariat dipahami sebagai lelaku batin, tidak dibarengi dengan praktek lahir. Inilah yang pada masa lalu dipropagandakan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje,yang merekomendasikan pada penjajah Belanda agar tidak mengganggu umat Islam yang sekadar menjalankan ritual agamanya saja, seperti shalat, zakat, shaum, haji, dan sebagainya, namun jangan biarkan jika mereka menumbuhkan kesadaran politik (polietik bewust)yang bisa menjadi ancaman bagi kolonial Belanda. Snouck seolah ingin mengatakan, jika umat Islam sudah tidak peduli lagi terhadap kesadaran politik, kesadaran tentang penyatuan agama dan negara, maka biarkan saja. Itu artinya, mereka telah terjebak dalam pusaran sekularisasi yang bisa menguntungkan penjajah.
Ironisnya, saat ini menjamur berbagai majelis-majelis zikir dengan massa yang tumpah ruah ketika menyelenggarakan acara, konvoi di jalan-jalan, ratusan bahkan ribuan jamaahnya, namun jarang sekali menyatakan sikap tegas dan keras untuk menyuarakan perlawanan terhadap liberalisme, pluralisme, sekularisme, aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Bahkan, hanya terlihat seperti kerumunan (crowd) yang sekadar unjuk kekuatan jumlah massa, namun tak memperlihatkan aksi nyata dalam membela hak-hak umat Islam dan akidah Islam yang teraniaya. Sebagian bahkan ada yang lebih memilih akrab dengan penguasa, meskipun penguasa tersebut tak pernah melindung akidah kaum muslimin dari berbagai pelecehan dan kesesatan. Sikap seperti ini bisa menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan mereka sudah terjebak dan terperangkap masuk menjadi “potential partner” asing sebagimana yang direkomendasikan Rand Corporation.
Para pengasong paham Sepilis tak lebih dari budak-budak kuffar yang ikut dalam gerbong imprealisme Barat untuk menaklukkan negeri-negeri Muslim. Keberadaannya tak hanya mengancam umat Islam, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.
Istilah “Kelompok moderat” versi Amerika Serikat  dan sekutu-sekutunya, yang harus dirangkul dan dijadikan partner dalam memerangi apa yang mereka sebut “ekstremisme Islam” dan “Radikalisme Islam” adalah mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk memasarkan ide-ide tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis). Inilah tiga ide besar yang sedang dipasarkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim yang menjadi kaki tangannya, diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie, the Wahid Institute yang dimotori oleh Yeni Abdurrahman Wahid, Setara Institute yang dimotori oleh Hendardi, International Center for Islam and Pluralism yang dimotori oleh M. Syafi’i Anwar, Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli, LibforAll Foundation yang dimotori oleh C. Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang bekerja sebagai “babu asing” dan menjalankan aksinya untuk merusak akidah dan keyakinan umat Islam. Inilah organisasi “tadah hujan” yang bekerja demi kucuran dollar, merusak dan melakukan subversi terhadap Islam.
Secara representatif, keberadaan mereka dapat terlihat jelas dalam organisasi payung bernama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi yang terdiri dari beragam keyakinan dan agama ini, hanyalah kedok untuk mem-back-up kelompok sesat Ahmadiyah agar tidak dibubarkan oleh pemerintah. Mereka juga menjadikan Pancasila sebagai tameng untuk melindungi penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1 Juni 2008, kelompok ini menggelar acara “Apel Siaga Pancasila” di Monumen Nasional yang berujung pada bentrokan dengan Komando Laskar Islam.
Sebelum apel siaga itu dilakukan kelompok AKKBB telah membuat pra-kondisi dengan menebar iklan provokatif di berbagai media massa nasional dengan tagline besar, “Mari Selamatkan Indonesia Kita”. Dalam iklan tersebut tertera 289 nama tokoh yang mendukung gerakan mereka, diantaranya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Azyumardi Azra, Syafi’i Ma’arif, Siti Musdah Mulia, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh ini juga kemudian terlibat dalam permohonan uji materi UU No.1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi ini kelompok liberal keok, karena MK menolak gugatan mereka.
Aroma keterlibatan asing dalam gugatan yang diajukan kelompok liberal terkait UU Pencehan Penodaan Agama itu tercium, tatkala mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan saksi dari Amerika, W. Cole Durham. Durham adalah pakar hak asasi manusia dari Harvard University. Upaya mendatangkan saksi ahli dari Amerika mendapat tentangan keras Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU saat itu, KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa kehadiran saksi dari Amerika Serikat itu makin membuktikan adanya skenario internasional untuk mengacaukan kehidupan beragama di tanah air.
KH. Hasyim Muzadi yang juga menjadi saksi ahli yang diajukan oleh umat Islam dengan tegas menolak pakar HAM yang diajukan oleh kelompok liberal.”Mahkamah kita adalah Mahkamah Konstitusi nasional bukan mahkamah internasional. Ukurannya tidak sama dengan asing,”tegas Kiai Hasyim yang juga menjabat sebagai Sekjend Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).
Hasyim Muzadi menegaskan, UU No.1 PNPS/1965 adalah upaya mengantisipasi penodaan agama, agar kehidupan beragama bisa berlangsung tertib dan harmonis, tanpa adanya pelecehan dan penodaan terhadap keyakinan tertentu. Hasyim juga menduga gugatan terhadap UU ini ditunggangi oleh kelompok atheis yang memang sudah lama ingin bangkit kembali di negeri ini. Dengan tegas Hasyim menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan menguntungkan kepentingan umat beragama di Indonesia, tapi justru akan membuat pertentangan di kalangan masyarakat. “Ini hanya menguntungkan atheisme melalui neolib dalam memanfaatkan demokrasi yang over dosis,” tegasnya. HAM kata Hasyim, diukur menurut ukuran konstitusi, bukan menurut pendapat orang asing.
Selain mengajukan permohonan uji materi UU Tentang Pencegahan Penodaan Agama, kelompok liberal dengan dukungan aktivis perempuan dan transgender (homo, lesbi, biseksual) bergerilya menolak Qanun Jinayat yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD) pada 14 September 2009. UU Qanun Jinayat mengatur hukuman badan terkait perjudian, khamar, khalwat (berduaan bukan mahram), zina, liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian), dan lain-lain. Mereka bergerilya ke Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan qanun tersebut, dan melakukan berbagai aksi demo dan kampanye penolakan. Mereka menggalang dukungan organisasi HAM internasional (Human Right Watch).
Anehnya, penolakan terhadap Qanun Jinayat justru tidak datang dari rakyat Aceh sendiri, melainkan datang dari kelompok liberal dan transgender yang berada di luar Aceh. Istilahnya, Qanunnya berlaku di Aceh, eh yang menolak para gay, homo, lesbi, biseksual, dan gerombolan liberal di Surabaya. Dengan dukungan internasional, mereka melakukan kampanye, “An International Campaign for Sexual and Reproductive Right” (Kampanye Internasional untuk Hak Seksual dan Reproduksi) di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh NGO internasional the Coalition for Sexual and Bodily Right in Muslim Societies (CSBR), yang didukung oleh gabungan dari 20 LSM pengusung virus Sepilis, diantaranya LSM Gaya Nusantara yang merupakan tempat bernaungnya para gay, homo, dan lesbi.
Seminar dan kampanye tersebut dihadiri oleh Guntur Romli, aktivis AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan dan Komunitas Salihara. Guntur adalah orang yang memiliki syahwat tinggi untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Syahwat tersebut ia lampiaskan dengan menggalang segelintir begundal, homo, gay, dan lesbi untuk berteriak-teriak di Bunderan HI dalam kampanye “Indonesia Tanpa FPI”. Selain Guntur Romli, tokoh Jaringan Islam Liberal yang sekarang mencari nafkah di Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga nampak dalam kerumunan kecil tersebut.
Kampanye kaum liberal dan mereka yang mengalami disorienteasi seksual tersebut tak lebih dari rasa frustasi mereka karena tak juga laku memasarkan paham Sepilis di Indonesia. Bahkan, karena tak juga mampu menjadi pengasong yang sukses memasarkan paham sesat tersebut, beberapa funding asing mulai mengurangi bahkan menghentikan transfer dollar kepada kelompok tersebut. Karena itu, tak heran jika Ulil Abshar Abdalla berpindah ke ketiak Partai Demokrat, partai yang beberapa kadernya diduga menjadi mesin ATM pengeruk uang rakyat. Di partai yang sudah “babak belur” karena kasus korupsi dan kebohongan publik ini, Ulil yang dulu menjadi pengasong di JIL, kini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Entah atas dasar apa, Demokrat menempatkan dirinya di posisi tersebut. Apakah partai yang dibidani oleh SBY ini ingin Ulil membuat strategi dan kebijakan untuk memasarkan liberalisasi di Indonesia?
Selain liberal dalam bidang pemikiran keagamaan, kelompok pengasong virus Sepilis juga sangat liberal dalam bidang ekonomi. Merekalah yang pada 2005 lalu mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang mencekik rakyat. Karena itu, selain merugikan umat Islam, kelompok liberal juga merugikan ratusan juta rakyat Indonesia secara keseluruhan! Siapa saja mereka? 
Bagi kelompok liberal, apapun bisa dilakukan untuk mencari dukungan kekuasaan, popularitas, bahkan uang. Tak peduli apakah sikap dan kelakuan mereka berseberangan dengan suara mayoritas, akal sehat masyarakat, dan nurani rakyat. Inilah yang dilakukan oleh Freedom Institute, sebuah organisasi nirlaba yang digawangi oleh para pengasong virus Sepilis seperti Rizal Mallarangeng, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Asy-Syaukanie, Nong Darol Mahmada, Ahmad Sahal dan lain-lain. Lembaga ini juga bagian darinetworking Jaringan Islam Liberal (JIL), Yayasan Aksara, Komunitas Utan Kayu, Kedai Kebebasan, Akademi Merdeka, Economic Freedom Network Asia, Institute Studi Arus Informasi (ISAI), dan lain-lain yang mengusung sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Di Freedom Institute inilah, pentolan JIL, Ulil Abshar Abdalla, menggawangi kajian bidang agama dan isu-isu sosial.
Pada tahun 2005 lalu, di tengah protes rakyat akan kenaikan harga BBM dan penderitaan atas kemiskinan yang tak pernah tersejahterakan, LSM liberal Freedom Institute justru membuat iklan yang mendukung kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dan tidak ragu lagu menetapkan kenaikan harga BBM tersebut. Iklan ini sempat menjadi perbincangan di media massa, mailing list dan jejaring sosial lainnya, karena dianggap sebagai “pelacuran intelektual” antara orang yang selama ini mengaku sebagai cendekiawan dengan pemilik modal dan kekuasaan. Sebanyak 36 orang yang mengaku cendekiawan intelektual mendukung kebijakan yang menyengsarakan rakyat dalam sebuah iklan yang mewah di media massa. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang liberal. Agar umat bisa mengenali siapa saja mereka, inilah diantara tokoh-tokoh liberal yang pernah mendukung kenaikan harga BBM itu: (The Synagogue of Satan,hal. 326, hal. 354)
1. Ayu Utami
Penulis Novel yang dikenal seringkali mengeksploitasi seksualitas dan  sensualitas. Novel-novelnya sarat dengan kata-kata vulgar, yang menurut  sastrawan Taufik Ismail, masuk dalam kategori “Sastra Mazhab Selangkangan.”  Ayu juga seringkali mempropgandakan perjuangan kelompok kiri dalam novel-novelnya. Ayu Utami juga turut dalam mendukung aksi Indonesia Tanpa FPI yang didukung oleh para begundal, gay, homo, lesbi, dan banci.
2. Goenawan Mohammad
Wartawan dan bos Majalah Tempo yang juga dikenal sebagai dedengkot  Komunitas Utan Kayu dan memiliki saham besar dalam membesarkan Jaringan Islam Liberal. Goenawan juga dikenal sebagai sosok yang anti perda maksiat  dan undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi. Tulisannya di Catatan  Pinggir Majalah Tempopernah menyindir keras Abu Bakar Ba’asyir dan Habib Rizieq Syihab. Goenawan Mohammad juga orang yang getol mendukung Boediono sebagai wakil presiden, sosok yang diduga terlibat skandal Bank Century dan bagian dari antek-antek asing di negeri ini. Selain di Tempo dan Utan Kayu, Goenawan juga aktif di Komunitas Salihara, Pejaten.
3. Ulil Abshar Abdalla
Pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang pernah mengatakan fatwa MUI sebagai “tolol” dan “konyol”, meskipun akhirnya ia meminta maaf atas kelakuannya itu. Diantara kelompok liberal lainnya, Ulil dikenal paling “usil” dalam mengomentari ajaran-ajaran Islam. Ulil pernah menulis bahwa keyakinan tentang Muhammad sebagai Nabi terakhir adalah doktrin yang kurang perlu dan harus dibuang dari keyakinan Islam. Ia juga menolak kemakshuman Rasulullah. Ulil juga paling “usil” dengan organisasi-organisasi Islam dan Partai Islam, sehingga seringkali syahwatnya bergelora untuk membubarkan FPI dan menendang PKS dari koalisi di pemerintahan. Basis massa NU yang kebanyakan akar rumput dan hidup pas-pasan, tak juga membuat nurani Ulil tersentuh untuk tidak mendukung kenaikan harga BBM.
4. Hamid Basyaib
Hamid juga dikenal sebagai pentolan JIL. Ia juga dikenal sebagai aktivis Freedom Instutute dan Yayasan Aksara yang getol membela Ahmadiyah dan mengecam fatwa MUI. Dalam pidato ulang tahun JIL di Taman Ismail Marzuki pada 2010, Hamid menyebut Ulil sebagai sosok yang layak sebagai pembaharu. Dalam acara ulang tahun itu, Hamid juga menyatakan olok-oloknya terhadap hadits Nabi. “Ada yang bilang, mereka hafal enam ratus ribu hadits, ada Imam Addaruquthni yang bilang setengah juta. Saya pernah coba hitung, kalau itu dibagi dengan masa karier Nabi yang hanya dua puluh dua tahun, jadi Nabi itu ngomong kira-kira tujuh ratus hal sehari. Kalau itu yang kita pegang, maka Nabi adalah orang yang banyak berkata-kata,” jelas Hamid Basyaib. Hamid juga pernah mengatakan, agama yang tidak menghargai harkat kemanusiaan dan kebebasan tidak perlu ada. “Agama hadir untuk manusia bukan sebaliknya. Jadi bukannya manusia harus mengabdi kepada agama karena manusia itu lebih besar dari apa pun, termasuk dari agama,” kata Hamid. http://www.perspektifbaru.com/wawancara/705
5. Nong Darol Mahmada
Perempuan asal Banten ini adalah istri dari Guntur Romli, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Nong berasal dari keluarga santri. Ayahnya seorang ulama yang disegani di Banten. Namun, sejak masuk di UIN Jakarta dan aktif di Forum Mahasiswa Ciputan, Nong menjadi liberal. Perempuan yang dulu berjilbab itu kini menanggalkan jilbabnya. Selain aktif di JIL, Nong juga aktif di Freedom Institute. Nong juga dikenal sebagai feminis liberal.
6. Luthfi Asy-Syaukanie
Luthfi pernah berkunjung ke Israel kemudian begitu terkagum-kagum dengan negeri Zionis tersebut. Ia pernah menyebut Zionisme sama dengan nasionalisme yang ada di negeri ini. “Saya suka bingung kalau ada orang mengecam Zionisme dengan berbagai stigma. Bagi orang-orang Israel, Zionisme adalah modal penting untuk berdirinya negara itu, sama seperti kita meneriakkan nasionalisme ketika mengusir penjajah Belanda dulu. Bahwa dalam perjuangan kemerdekaan orang-orang seperti Tjokroaminoto, Syahrir, Tan Malaka, dicap sebagai “teroris” oleh pemerintahan kolonial, itu persis seperti orang-orang Arab menganggap Menachem Begin, Yitzak Shamir, Yitzak Rabin, sebagai “teroris.” Tapi, bagi bangsa Israel, sama seperti kita menganggap tokoh-tokoh nasional kita, mereka adalah para pahlawan,” tulis Luthfi. Selain getol membela Israel, Luthfi juga aktif melakukan propaganda melecehkan ajaran-ajaran Islam. Ia aktif di Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute.
Demikianlah sebagian nama-nama para pengasong virus Sepilis yang juga para pendukung kenaikan harga BBM. Mereka tidak peka dan tidak peduli terhadap nasib rakyat miskin yang tercekik oleh melambungnya kebutuhan pokok akibat dari naiknya harga BBM. Karenanya, tak berlebihan jika ada yang menyebut para gerombolan liberal ini sebagai “pelacur intelektual” yang menyerahkan harga dirinya pada kepentingan asing. Jadi, tak hanya merusak akidah umat Islam, kelompok liberal juga menyengsarakan rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Freedom Institute sebagai sarang dari kelompok liberal adalah lembaga yang dimotori oleh Rizal Mallarangeng, sosok yang dikenal sangat liberal dan “American minded”yang pernah terlibat dalam mediasi antara perusahaan minyak AS ExxonMobile dengan pemerintah Indonesia. Mediasi ini tentu saja menguntungkan AS, mengingat Rizal Mallarangeng adalah sosok yang dikenal menganut mazhab ekonomi liberal. Freedom Institute yang didanai oleh keluarga Bakrie ini jugalah yang menyelenggarakan Ahmad Wahib Award, penghargaan yang diberikan pada pejuang kebebasan, yang mengacu pada sosok Ahmad Wahib, seorang aktivis yang dikenal sebagai pengusung pluralisme agama dan kebebasan. Jika saat ini kelompok liberal juga mendukung kenaikan BBM, maka tak usah kaget, karena antara mereka dan pemerintah saat ini adalah satu majikan: Amerika Serikat!
Proyek liberalisasi yang dijalankan oleh kelompok liberal sejatinya adalah program asing untuk melumpuhkan negeri ini. Karenanya, kelompok liberal adalah agen-agen asing yang perlu diwaspadai!
Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan kepada media massa bahwa ada 60.000 intelijen asing yang berkeliaran di negeri ini. Pernyataan tersebut sempat menjadi perbincangan banyak khalayak. Maklum, yang menyatakan adalah petinggi tentara, bukan orang sembarangan. Artinya, sebagai KSAD tentu Ryamizard memiliki ribuan anggota di lapangan yang bisa mensuplai data valid terkait keberadaan agen asing tersebut. Lain halnya jika pernyataan tersebut berasal dari obrolan warung kopi, tentu tak bisa dipertanggungjawabkan.
Di tengah ramainya perbincangan mengenai hal tersebut, penulis berkesempatan mewawancari jenderal asal Palembang tersebut di rumahnya, di Kompleks Kostrad, Cijantung, Jakarta Timur. Ryamizard yang di kalangan anak buahnya dikenal sebagai “Jenderal Kiai” karena sikapnya yang rajin beribadah dan membangun sarana-sarana keislaman di lingkungan militer, kembali menegaskan pernyataannya soal adanya 60.000 spionase asing yang beroperasi di negeri ini. Ryamizard adalah sosok jenderal yang tidak disukai oleh Amerika Serikat, karena sikapnya yang tegas menolak segala bentuk intervensi asing.
Kepada penulis yang mewawancarai ketika itu, Jenderal Ryamizard mengatakan, yang dimaksud dengan agen asing itu adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan asing. Mereka bisa saja orang Indonesia, berwajah khas Indonesia, namun menggadaikan harga dirinya demi uang dan ambisi politiknya dengan menjadi kaki tangan asing.”Agen itu kan orang sini juga. Kalau 60.000 intel asing, kan kulit dia beda sama kita, mudah diketahui dong. Tapi mereka adalah agen yang digarap,” ujarnya. (Lihat, Wawancara Khusus Majalah Sabili dengan Ryamizard Ryacudu berjudul, “Saya Tak Mau Dijajah Asing”, Edisi No.17, Th.XIII/9 Maret 2006)
Dalam wawancara selanjutnya, Ryamizard yang kandas menjadi Panglima TNI ini kembali menyatakan bahwa yang direkrut menjadi agen asing itu berasal dari bangsa kita sendiri.”Intelnya tidak terlalu banyak, tapi agennya itu banyak. Agennya orang kita. Secara fisik kita dikuasai; pemikiran, pendidikan, dan segala macam. Kita boleh bergaul dengan siapapun. Yang nggak boleh kita bergaul sama setan,” tegasnya. (Lihat, Wawancara Khusus Majalah Sabili dengan Ryamizard Ryacudu, Edisi No.13, Th. XIV/11 Januari 2007).
Pernyataan Ryamizard bukan tanpa dasar. Betapa hari ini agen-agen asing benar-benar berkeliaran, merusak ekonomi, budaya, tatanan sosial, pendidikan, bahkan ajaran-ajaran agama. Mereka bekerja by order, membuat proyek proposal untuk melakukan aksi-aksi yang merugikan bangsa ini, khususnya umat Islam. Diantara program mereka adalah “Proyek Liberalisasi” yang hari ini bisa kita saksikan langsung melalui kiprah LSM-LSM seperti Jaringan Islam Liberal, Salihara Institute, LibforAll Foundation, The Asia Foundation, dan beragam LSM sejenis lainnya yang jelas-jelasnya melakukan upaya-upaya destruktif terhadap ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuah Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, menyebut LSM seperti JIL telah melakukan “Subversif politik dan agama”, yang tidak hanya mengancam umat Islam, tapi bangsa ini secara keseluruhan.
Mengenai adanya dana asing yang masuk ke kantong JIL, Ulil Abshar Abdalla dalam wawancara dengan Majalah Suara Hidayatullah dengan terang-terangan mengatakan, “Setiap tahun kami mendapat sekitar Rp 1,4 milyar. Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari sumber-sumber domestik, Eropa, dan Amerika. Tapi yang paling besar dari TAF (the Asia Foundation). Tapi dana itu jauh lebih kecil daripada dana yang diperoleh ormas-ormas Islam lainnya,” ujar Ulil dalam wawancara tahun 2004. Sementara itu, menurut keterangan Munarman, dalam sebuah rapat di Daun Kafe, Cikini, pada 10 Februari 2012 lalu, ada perbincangan mengenai dana asing sebesar 61 miliar yang mengalir ke kelompok liberal.”Itu dari rapat pembicaraan mereka sendiri,” ujar Munarman.
Secara berturut-turut menurut data yang dilansir oleh Habib Rizieq Syihab dalam tulisannya berjudul “Liberal Antek Asing”, Indonesia mendapat kucuran dana dalam proyek membangun jaringan muslim moderat yang pro terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dana tersebut secara beruntun: Tahun 2004, 60 Juta USD, tahun 2005, 78 juta USD, tahun 2006, 84 juta USD, tahun 2007, 96 juta USD, tahun 2008, 143 juta USD, dan tahun 2009, 184 juta USD. Dana tersebut menggelontor dengan tujuan agar para kaki tangan asing mampu menjalankan agenda-agenda mereka di negeri ini.
Sebelumnya, seperti diberitakan Harian The New York Time 20 Mei 1998, pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Bill Clinton melalui United State’s Agency for International Development (USAID) telah mengucurkan dana bagi kelompok oposisi di Indonesia sejak tahun 1995 yang berjumlah 26 juta USD. Sebagian uang tersebut dikabarkan masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) yang dipimpin Adnan Buyung Nasution pada saat itu. Buyung adalah orang yang juga sinis terhadap gerakan Islam. Ia pernah mengecam fatwa MUI tentang Ahmadiyah, bahkan melecehkan tokoh MUI KH. Ma’ruf Amin dengan menyebutnya sebagai orang yang tak tahu malu. Bukan hanya itu, Buyung jugalah yang ketika menjadi Watimpres menantang umat Islam untuk datang menduduki istana negara.
Dugaan adanya dana asing yang mengalir ke kelompok liberal juga terlihat pada tayangan iklan masyarakat berjudul “Islam Warna-Warni“. Iklan yang dibuat oleh Komunitas Utan Kayu tersebut sempat tayang di SCTV dan RCTI pada tahun 2002 dan mendapat protes keras dari Majelis Mujahidin Indonesia. Bahkan, MMI yang saat itu dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir melayangkan somasi agar iklan tersebut tidak tampil lagi di media massa. MMI menilai, muatan iklan “Islam Warna-Warni” mempunyai tujuan tertentu untuk mengesankan, kelompok yang sesat sekalipun, jika mengaku Islam maka harus dihargai. Di samping itu menurut MMI, Islam itu satu, yang beragam adalah wadah umat dalam beragam organisasinya.
Kelompok liberal, meski minoritas dan kecil, namun mendapat sokongan dana dan dukungan media massa yang besar. Jika ada masalah dalam kerja mereka di lapangan, maka media massa-media massa sekular siap untuk menjadi corong pembela mereka. Tak peduli, apakah pemberitaannya tersebut berimbang atau tidak, yang penting gunakan “bullet theory”, cecar terus dengan pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan umat Islam, sehingga masyarakat tercekoki dengan pemberitaan-pemberitaan yang bias, tidak imbang, dan menghakimi. Inilah yang menimpa Front Pembela Islam (FPI), salah satu ormas Islam yang sering menjadi bulan-bulanan media massa sekular. Antara kelompok liberal dan media massa sekular seolah berbagi peran: Ada yang bagian memprovokasi umat Islam lewat berbagai macam aksi dan pelecehan, kemudian ada yang siap-siap memblow-up dengan pemberitaan jika aksi tersebut menuai reaksi dari umat Islam. Inilah kerja makar jahat mereka!  (bersambung)
Intelijen Amerika Serikat diduga kuat menyusup dalam LSM-LSM internasional yang beroperasi di Indonesia dan menjadi funding kelompok pengasong virus Sepilis. Inilah ideologi trans-nasional sesungguhnya yang mesti diwaspadai oleh bangsa ini!
Imprealisme asing terhadap negeri ini menggunakan beragam cara dan bermacam kedok. Diantara kedok yang mereka pakai adalah beroperasinya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mengusung tema-tema Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, civil society, toleransi agama, anti kekerasan, dan lain sebagainya. Semua itu adalah kedok dari operasi mereka sesungguhnya untuk membangun hegemoni ideologi dan kekuasaan serta penyebaran paham-paham sesat seperti Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
Diantara lembaga asing yang beroperasi di Indonesia, dan menjadi partner kelompok liberal adalah The Asia Foundation (TAF) yang berkantor pusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedangkan kantor perwakilan TAF di Indonesia ini terletak di Jalan Adityawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. TAF bisa disebut sebagai “funding” dan “mentor” para aktivis dan LSM liberal di Indonesia. TAF jugalah yang terlibat membantu penyusunan Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam pada tahun 2004, yang diketuai oleh Siti Musdah Mulia. Mereka membentuk sebuah tim yang disebut sebagai Tim Pengarusutamaan Gender, yang kemudian menyusun sebuah rancangan kompilasi hukum Islam yang sempat menghebohkan kaum muslimin pada waktu itu. Diantara isi rancangan itu adalah, nikah dianggap bukan sebagai ibadah, namun sekadar hubungan muamalah (kontrak sosial) antara manusia. Poligami dilarang dan suami-istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal waris, rancangan tersebut menyatakan antara laki-laki dan perempuan mendapat hak waris yang sama. Anak yang murtad dari Islam, menurut rancangan tersebut juga mendapat waris dari orangtuanya yang Muslim.
Sedikit gambaran mengenai Siti Musdah Mulia, mantan Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag yang juga menjabat sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam berbagai kesempatan, Musdah yang mengaku berasal dari lingkungan pesantren seringkali mengampanyekan bolehnya nikah beda agama. Musdah juga yang memberi kata pengantar dari sebuah buku yang mengampanyekan nikah beda agama. Dari hasil penelitian buku ini, tercatat sejak 2004 sampai 2012, ada 1.109 pasangan yang menikah dengan latarbelakang keyakinan yang berbeda. Pasangan terbanyak adalah pernikahan antara yang menganut Islam dan Kristen, kemudian pasangan Islam dan Katolik. Inilah hasil kerja keras dari kelompok liberal! (Lihat disini)
Karena kerja kerasnya dalam mengampanyekan kesetaraan gender dan pluralisme agama, Siti Musdah Mulia mendapat penghargaan the International Women Courage Award pada 7 Maret 2007. Award ini diserahkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ketika itu, Condoleeza Rice dalam sebuah upacara seremonial di Departeman Luar Negeri Amerika Serikat.
Dengan kata lain, Award ini murni berasal dari pemerintah Amerika Serikat atas inisiatif kementerian luar negerinya. Award ini juga sekaligus menguatkan dugaan adanya keterlibatan Amerika Serikat dalam proyek liberalisasi di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia. Musdah yang pernah mengatakan bahwa Islam mengakui kaum lesbian dan homoseksual, menolak poligami dan mengatakan nikah bukan urusan ibadah mendapat ganjaran sebagai “Wanita Pemberani” dari pemerintah Amerika Serikat.
Kembali ke soal The Asia Foundation. Roland G. Simbulan dalam sebuah acara di Filipina pada 18 Agustus 2000, memaparkan makalah berjudul CIA’S Hidden History in the Philippines, yang menjelaskan soal adanya keterlibatan lembaga telik sandi Amerika Serikat, Central Inteligencen Agency (CIA), dalam mengendalikan LSM-LSM besar. Mereka menjadikan LSM-LSM tersebut sebagai kedok untuk menjalankan operasinya di setiap negara. Menurut Roland, di Manila, Filipina, CIA memainkan peranan penting dalam mengendalikan lembaga The Asia Foundation.
Roland G. Simbulan sempat mewawancarai agen CIA yang beroperasi di Filipina pada tahun 1996, yang menyatakan bahwa selama agen tersebut menjalankan misi intelijennya mereka menggunakan TAF sebagai kedok penyamaran. Sebelumnya, dalam TAF Annual Report 1985 (Laporan Tahunan TAF 1985), salah seorang Deputy CIA bernama Victor Marchetti mengatakan bahwa TAF didirikan oleh CIA dan sampai tahun 1967 mendapat bantuan subsidi dana dari badan intelijen Amerika Serikat ini. TAF juga mendapat bantuan dari American Jewish World Service (AJWS) yang merupakan partnership mereka dalam menjalankan berbagai program di seluruh dunia. Meskipun TAF selalu membantah soal ini.
Di Indonesia, selain memberikan dana bagi Jaringan Islam Liberal (JIL), TAF juga pernah bekerjasama dalam penerbitan sebuah majalah bernama “Syir’ah” yang mengusung pluralisme agama. Majalah ini tak mampu meraih minat pembeli dan pembaca karena isinya yang cenderung konfrontatif dengan keyakinanmainstream umat Islam. Bahkan, meski sebagian awak redaksinya berasal dari anak-anak muda NU, majalah ini juga tak mampu menjaring pembaca dari kalangan nahdhiyyin. Saat itu, Syir’ah seolah ingin menjadi majalah yang mampu mengimbangi keberadaan Majalah Islam Sabili yang mampu meraih oplah besar dan menjangkau khalayak di seluruh Nusantara.
Selain The Asia Foundation, LSM internasional lainnya yang menjadi “funding” bagi kelompok pengasong paham Sepilis lainnya adalah Ford Foundation. LSM ini berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, dan mempunyai cabang di Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Ford Foundation pernah terlibat dalam mendanai penerbitan buku berjudul “Fiqih Perempuan: Refleksi Kiayi atas Wacana Agama dan Gender” yang isinya sangat bertolak belakang dengan syariat Islam. LSM ini juga bekerjasama dengan LBH APIK, sebuah lembaga yang memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia.
Hari-hari ke depan, umat Islam akan dihadapkan pada persoalan RUU Kesetaraan Gender yang digodok di DPR dan diback-up oleh kelompok-kelompok pengusung virus Sepilis. Bukan tak mungkin, RUU ini adalah pesanan asing dengan tujuan merusak keyakinan umat Islam dan memecah belah bangsa ini. Karena itu, setelah mewaspadai keberadaan LSM-LSM yang membawa misi merusak keyakinan Islam, umat harus waspada terhadap upaya-upaya intervensi asing kepada lembaga-lembaga negara, seperti DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Lembaga-lembaga negara inilah yang terus berupaya mereka tekan, desak, dan kuasai. Jika lembaga-lembaga tersebut berhasil mereka tekan dan kuasai, kemudian lahirlah produk hukum dan perundang-undangan yang liberal, maka negeri ini tinggal menunggu azab Ilahi.Wallahu a’lam.
Sumber: Indonesia Tanpa Sepilis
Share/Save/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar