Kamis, 21 Maret 2013

Wawasan


Filsafat Deregulasi

KETIKA harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia mencari motor baru dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen utama. Era deregulasi mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea cukai, perdagangan, investasi, pasar modal, perbankan, komunikasi, dan sebagainya.
Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.
Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.

Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual. Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.
Etika deregulasi
Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.
B Herry-Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Alumnus London School of Economics (LSE), Inggris
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/opini/1789156.htm

Kecerdasan


KECERDASAN MAJEMUK

( MULTIPLE INTELLEGENCES )


        Pada tahun 1904, menteri pendidikan Perancis meminta psikolog perancis, Alfred Binet, dan sekelompok psikolog mengembangkan suatu alat untuk mengetahui kecerdasan siswa. Jerih payah mereka akhirnya menemukan satu jenis tes kecerdasan yang sampai sekarang kita kenal dengan tes IQ.
        Setelah delapan puluh tahun dikembangkannya tes kecerdasan tersebut, psikolog Harvad University, Howard Gardner, mempersoalkan pengertian kecerdasan. Menurutnya, kecerdasan sekurang-kurangnya ada tujuh kecerdasan dasar. Belum lama berselang, dia menambahkan kecerdasan yang kedelapan. Jenis-jenis kecerdasan menurut Howard Gardner adalah
1. Kecerdasan Linguistik
2. Matematis logis
3. Spasial
4. Kinestetis-Jasmani
5. Musikal
6. Interpersonal
7. Intrapersonal
8. Naturalis

1.     Kecerdasan Linguistik
      Kecerdasan yang berkenaan dengan kemampuan seseorang untuk mengolah dan menggunakan kata secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi, semantik, dimensi pragmatik. Penggunaaan bahasa ini antara lain mencakup
1.   retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain melakukan tindakan tertentu),
2.   menemonik (menggunakan bahasa untuk mengingat informasi),
3.   eksplanasi (menggunakan bahasa untuk memberi informnasi), dan
4.   metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri)
      Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi, meyakinkan orang,meng hibur, atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya.
Profesi yang dianggap memiliki kecerdasan ini adalah pendongeng, orator, politisi, sastrawan, editor, penulis drama, wartawan.

2.     Logis matematis
      Kecerdasan dalam hal angka dan logika. kecerdasan ini meliputi pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil, fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan ini antara lain kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitrungan dan pengujian hipotesis
      Ciri-ciri orang yang cerdas logis matematis mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hopotesis, mencari keteraturan konseptual (pola numerik), dan pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional. Profesi yang berhubungan dengan kecerdasan ini adalah ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik, programer komputer, atau ahli logika.

3.     Kecerdasan Spasial
      Adalah kemampuan mempersepsi dunia spasial –visual secara akurat dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antarunsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuanm membayangkan, mempresentasikan ide secara visual spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat.
      Ciri-ciri mempunyai kepekaan yang tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan begitu hidup, melukis atau membuat sketsa atau ide secara jelas, serta dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi.
      Profesi yang terkait erat dengan kecerdasan ini adalah pemburu, pramuka, pemandu. Di samping itu juga profesi seperti dekorator interior, arsitek, seniman juga sangat erat dalam hubungannya mentrqansformasikan persepsi.

4.     Kecerdasan kinestetis jasmani
      Kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan , dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan ini meliputi kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, dan kemampuan menerima rangsangan dan hal lain yang berkenaan dengan sentuhan. Kecerdasan ini mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan dalam menangani benda. Mereka adalah orang-orang yang cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan berminat atas segala sesuatu. Profesi yang terkait dalam kecerdasan ini adalah aktor, pemain pantomim, atlet, penari pematung, dan dokter bedah.

5.     Kecerdasan musical
      Kecerdasan musikal berhubungan dengan kemampuan seseorang menangani bentuk-bentuk musikal denngan cara mempersepsi,membedakan, mengubah, dan mengekspresikan. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap irama, pola titi nada atau melodi, dan warna nada atau suara suatu lagu.
      Ciri utama kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan melodi. Kecerdasan ini dimiliki oleh
1.   orang yang peka nada,
2.  
dapat menyanyikan lagu dengan tepat,
3.   dapat mengikuti irama musik,
4.   dan mendengarkan berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman tertentu.
Orang-orang yang memeiliki kecerdasan ini misalnya kritikus musik, komposer, penyanyi.
6.     Kecerdasan interpersonal
      Adalah kemampuan seseorang untuk mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak isyarat, kemampuan membedakan tanda interpersonal, dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu. Kecerdasan ini terutama menuntut kemampuan untuk mencerap dan tanggap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan hasrat orang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal mempunyai rasa belas kasihan dan tanggung jawab sosial yang besar.

7.     Kecerdasan intrapersonal
    Adalah kemampuan memahami diri senediri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi
1.   kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri),
2.   kesadaran akan suasan hati, maksud, motivasi, temperamen, keinginan,
3.   kemampuan berdisiplin diri, dan menghargai diri.
      Orang yang memiliki kecerdasan ini, dapat dengan mudah mengakses perasaan sendiri, membedakan berbagai macam, keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan membimbing hudupnya. Secara garis besar, mereka merupakan orang yang gemar belajar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja dengan orang lain.

8.     Kecerdasan naturalis
      Adalah keahlian mengenali dan mengategorikan spesies (flora dan fauna) di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap fenomena alam misalnya formasi awan dan gunung-gunung. Bagi mereka yang dibesarkan di perkotaan , kemampuan membedakan benda tak hidup seperti mobil, sepatu karet, sampul kaset dan lainnya.
      Menurut Howard, sang naturalis adalah seseorang yang menunjukkan “kemahiran dalam mengenali dan mengklasifikasi banyak spesies dalam lingkungannya” dalam dunia nyata, naturalis muncul sebagai orang yang “bertangan dingin” kemahiran dalam berkebun, menggarap taman yang indah, atau memperhatikan suatu perhatian alami terhadap tanaman dengan cara-cara yang lain.
      Di samping kedelapan kecerdasan yang dikemukakan Gardner tersebut, belaiau juga mempercayai adanya kecerdasan baru yang disebut dengan kecerdasan eksistensial. Namun kecerdasan jenis ini masih banyak dipertentangkan oleh para ahli. Kecerdasan ini disebut dengan kecerdasan eksistensial

Kecerdasan eksistensial

      Howard Gardner merumuskan kecerdasan eksistensial sebagai kecerdasan yang menaruh perhatian pada masalah hidup yang paling utama. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hidup itu, mengapa ada orang jahat, apakah tuhan itu ada, merupakan titik awal yang penting dari suatu penjelajahan ke dalam konsep yang lebih mendalam.
Cara mengintegrasikan kecerdasan eksistensial di kelas.
a.       sains.
Guru dapat menajarkan sains secara eksistensial dengan menekankan wilayah jangkauan
kosmos yang terjauh misalnya teori tentang asal usul alam semesta.
b.   matematika.
      Guru dapat menggabungkan penekanan keragaman budaya dan matematika untuk
menyinggung eksistensial misalnya teorema pitagoras yang mempercayai bahwa pola-pola
bilangan menyingkapkan keselarasan alam semesta yang hakiki.
c.   sejarah.
   Kita tyidak mungkin mengungkapkan sejarah secara cerdas tanpa menyingkap faktor yang eksistenmsial terutama agama. Proses menafsirkan sejarah itu sendiri pun menyingkapkan madsalah eksistensial. Beberapa budaya memandang peristiwa sejarah sebagai rencana agung tuhan.
d.   sastra.
     Adanya keterkaitan dengan kitab suci. Di kelas guru perlu memastikan dulu apakah karya satra yang akan dibahas mengandung tema eksistensial kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenungkan dan mendiskusikan tema-tema tersebut.
e.   seni.
      Guru dapat membantu siswa dalam apresiasi dimensi seni yang lebih halus dan juga memberikan sumber daya serta kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan minat eksistensial meraka sendiri melalui karya seni cipataan sendiri.
       
        PEMEROLEHAN BAHASA

Tugas perkembangan bahasa
Dalam berbahasa anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1)   pemahaman.
Tahap pemahaman yaitu kemampuan seseorang memahami makna ucapan orang lain.perkembangan perbendaharaan kata.Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada masa prasekolah, dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.penyususnan kata-kata menjadi kalimat.Kemampuan menyusun kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun., menurut Davis, Garrison, dan Mc.Carthy anak yang cerdas, anak wanita dan anak yang berasal dari keluarga berada, bentuk kalimat yang diucapkannya lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak pria, dan anak yang berasal dari keluarga miskin.

2)   ucapan
  kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan ) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain terutama orang tuanya. Usia 11 s.d. 18 bulan pada umumnya mereka belum bisa berbicara tau mengucapkan kata-kata secara jelas sehiungga sulit dimengerti maksudnya. Kejelasan kata-kata baru dapat diperoleh saat usia 3 tahun.

Tipe perkembangan bahasa
a)  Egosentrik speech yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog), berfungsi untuk mengembangkan kemamopuan berpikir anak.yang pada umunya dilakukan anak usia 2-3 tahun
b)   Socialised speech yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi dalam 5 bentuk yaitu
· adapted information (terjadinya saling tukar gagasan atau tujuan bersama yang dicari);
·critism yang menbyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain;
·command /perintrah; request (permintaan); dan treath (ancaman)
·question (pertanyaan)
·answer (jawaban)
fungsi socialised speech membantu mengembangkan kemampuan penyesuaian soasial (social adjusment)
faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasan
1. kesehatan
2. intelegensi
3. status sosial ekonomi keluarga
4. jenis kelamin
5. hubungan keluarga

3)   aplikasi kecerdasan linguistic
Menurut Gadner ada lima strategi untuk membangkitkan kecerdasan linguistik siswa
1.   bercerita.
Bercerita harus dipandang sebagai alat pengajaran yang vital karena strategi ini sudah digunakan oleh semua kebudayaan di seluruh di dunia. Jika metode ini diterapkan, kita harus menggabungkan konsep, gagasan dasar, dan tujuan pengajaran menjadi sebuah cerita yang dapat disampaikan secara langsung kepada siswa.
2.   curah gagasan
vigotsky mengatakan pikiran seperti awan yang mencurahkan hujan kata. Selama proses curah gagasan, siswa mencurahkan fikiran verbal yang dapat dikumpulkan dan ditulis. Aturan umum curah gagasan adalah mengemukakan setiap gagasan relevan yang melintas di benak. Tidak ada penolakan gagasan. Setiap siswa diberi kesempatan mengemukakan gagasannya. Strategi ini membuat semua siswa merasa dihargai.
3.   merekam
tape recorder dapat digunakan untuk melatih kecerdasan linguistik dan kemampuan verbal dalam berkomunikasi memecahkan masalah dan mengemukakan pendapat. Tape rekorder sebagai model ekspresi alternatif. Hal ini digunakan untuk mendukung perkembangan pemikiran siswa.
4.   menulis jurnal
menulis jurnal pribadi akan mendorong siswa membuat catatan tentang bidang tertentu. Jurnal dapat dibuat sepenuhnya oleh siswa dan disampaikan di depan kelas. Jurnal ini juga dapat merangkum kecerdasan majemuk dengan memperbolehkan penggunaan gambar, s ketsa, foto, dialog, dan data nonverbal lain.
5.   publikasi
menulis adalah alat yang sangat berguna untuk mengomunikasikan gagasan dan mempengaruhi orang lain. Dengan memeberikan kesempatan kepada siswa untuk mempublikasikan dan mendistribusikan hasil karya mereka, guru dapat mepromosikan kegiatan tulis-menulis. Mereka akan menyadarai bakat mereka dan akan termotivasi untuk mengembangkan keahlian menulis.

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Thomas. 2002. Sekolah Para Juara: Menerapkan Muliple Inteligencesdi Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Amstrong, Thomas.2002. 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Multiple Intelgence. Jakarta:Gramedia.
Jasmine, Jullia.2007. Panduan Prakatis Mengajar Berbasis Multiple Intelgences. Bandung: Nuansa.
Pringgawidagdo, Suwarna.2002. Strategi Penguasaan Berbahasa.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Yusuf, Syamsu.2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Contoh makalah


PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA SURABAYA
DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
BAGI SISWA SMA NEGERI 8 SURABAYA

Oleh
Suhartono, S.Pd

1.   Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus bahasa Negara Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah dikumandangkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu yang merupakan wakil berbagai daerah di Indonesia. Mereka bersepakat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dengan mamasukkannya dalam salah satu butir Sumpah Pemuda yang berisi (1) Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; (2) Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; (3) Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa disebut Sumpah Pemuda? Jawabnya adalah karena para pemuda waktu itu berasal dari berbagai daerah dan wilayah di Indonesia dengan latar belakang etnis dan budaya, termasuk bahasa, yang berbeda-beda bersepakat menanggalkan identitas kedaerahan dan keetnikan yang melebur dalam satu pengakuan bersama, yakni menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan Indonesia dengan mengukuhkannya dalam Sumpah Pemuda.
             Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan  yang berfungsi juga sebagai bahasa pendidikan, bahasa perencanaan dan pembangaunan, sarana pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, serta bahasa media massa. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (dalam amandemen tidak berubah) Bab XV, Pasal 36 yang mengatakan ”bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.
             Dalam konteks pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, tampaknya bahasa Indonesia sudah mengambil peran. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa Indonesia telah mampu menjadi sarana pengembangan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan pengindonesiaan istilah bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Tidak kurang dari 350.000 istilah asing dalam berbagai bidang ilmu telah diindonesiakan. Malah, Microsoft telah bekerja sama dengan Pusat Bahasa untuk menerjemahkan istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, yang dikenal dengan program komputer berbasis bahasa Indonesia. Dalam pengembangan budaya, bahasa Indonesia pun telah melaksakanan peran itu karena keberagaman budaya Indonesia mengharuskan adanya sarana bahasa yang mencakup semua bahasa di Indonesia, dalam hal ini dilakukan melalui bahasa Indonesia.
             Dalam kaitannya dengan keberagaman budaya Indonsia, penulis akan mencoba menawarkan pemanfaatan keberagaman budaya dalam pengajaran BIPA. Hal itu penulis maksudkan agar dapat diperoleh beberapa kemanfaatan dalam pengajaran BIPA. Seperti pepetah (ungkapan bijak dalam bahasa tradisional) mengatakan, ”sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” (satu kali melakukan pekerjaan akan diperoleh banyak manfaat dari pekerjaan yang kita lakukan itu).

2.   Indonesia dengan Keberagaman Budaya
             Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama (Situmorang, 2006). Di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar, dsb.; Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dsb.; Maluku: Ambon, Ternate, dsb.; Papua: Dani, Asmat, dsb.) (Lihat Bangun, 2002:94—116; Bagus, 2002:286—306; Dananjaja, 2002: 118—142; Kalangie, 2002:143—172; Subyakto, 202: 173—189; Koentjaraningrat, 2002: 190—204; Sjamsuddin, 2002: 229—247; Junus, 202:248—265; Mattulada, 2002:266—285;l Bagus, 2002:286— 306; Harsono, 2002:307—328; Kodiran, 2002:329—352). Ada sekitar 726 bahasa
daerah yang tersebar di seluruh nusantara (Sugono, 2005). Mulai dari penutur yang hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa Jawa dan Sunda.
             Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya, menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula subsubetnis dengan subbudaya yang berbeda pula, misalnya, Solo, Yogyakarta, sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa orang Solo di Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun. Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya lembut. Selain itu, di Sumatra dikenal pula suku bangsa Minangkabau, yang menempati Provinsi Sumatra Barat, sebagian Provinsi Jambi dan Bengkulu, disamping tersebar di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia. Orang Minang—sebutan untuk masyarakat Minangkabau—memiliki budaya yang unik jika dibandingkan dengan masyarakat suku lain. Mereka terkenal dengan pandai berdagang dan banyak menjadi sastrawan semasa Balai Pustaka dan Pujangga Baru dan tokoh kemerdekaan di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Keunikan budaya Minang terlihat dari sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal). Sosok ibu menjadi dasar penentuan nama keluarga (family). Bahkan, dalam adat Minang selain nama keluarga berasal dari keluarga ibu, seseorang laki-laki yang sudah menikah akan diberi gelar adat sehingga, menurut adat yang berlaku di Minang—yang bersangkutan harus dipanggil dengan gelarnya, bukan nama kecilnya. Misalnya, seseorang bernama Abdullah yang setelah menikah diberi gelar Sutan Maharajo (’Sultan Maharaja’) harus dipanggil dengan Sutan atau Marajo, sesuai dengan pepatah ”Ketek banamo, gadang bagala” (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Di luar Minang biasanya seorang istri akan tinggal di rumah keluarga suami, sebaliknya di Minang suami akan tinggal di
rumah istri. Apabila keluarga suami-istri ingin membangun rumah baru, lokasinya masih berada di sekitar rumah orang tua istri (mertua). Dengan demikian, akan berkembang keluarga besar dari pihak istrinya. Akibatnya, anak akan hidup dilingkungan keluarga istri dan itulah uniknya budaya kekerabatan di Minang.
             Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, budaya Minang terlihat berpadu dengan budaya Islami. Dasar kemasyarakatan di Minang tertuang dalam prinsip adat, yakni ”adat bersandikan syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan Kitabullah (Alquran)”. Dengan demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi keberagamaan yang kuat. Biasanya, tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka merantau ke negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang kuat itu masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana pun mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu berintegrasi dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di mana pun di Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan dengan Kampung Minang. Agak berbeda dengan masyarakat etnis lain, seperti Jawa, Madura,
Bugis, atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung Madurua, Kampung Bugis, atau Kampung Cina.
             Keberagamaan masyarakat Madura tidak berbeda dengan keberagamaan seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Minang, dan Bugis. Etnis itu dikenal dengan penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh teknologi modern berdapak terhadap keberagamaan masyarakat.
             Bali pun-yang sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara-memiliki agama mayoritas Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu menyatunya Hindu dalam kehidupan mereka, kehidupan sosial dan pemerintahan pun dipengaruhi Hindu. Barangkali tingkat keberagamaan di Bali lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat keberagamaan masyarakat dari etnis lain. Hal itu ditandai dengan setiap aktivitas mereka tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada hal yang menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan diwilayah lain di Indonesia.
             Agama pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam (animisme). Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui Konghucu. Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup beragama. Memang konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah tumbang, tetapi keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan antarumat beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai hak yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya budaya Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat keturunan Cina di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat keturunan Cina, yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam system pemerintahan Orde Baru.
             Dari sudut keagamaan itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan jumlah itu tidaklah berarti bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan keberagaman agama. Di Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah mayoritas, umat Islam di Indonesia sangat memperhatikan kerukunan antarumat beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk seluruh isi alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar kemasyarakatan yang tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi toleransinya sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi politik kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil. Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadangkadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan kerukunan yang sejati.

3.   Pengenalan Budaya Indonesia melalui Pengajaran Bahasa Indonesia
             Dalam pengajaran BIPA memang ada buku yang telah memanfaatkan budaya Indonesia, namun belum semua buku penbgajaran BIPA menyajikan materi yang menyentuh kebudayaan Indonesia. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43 buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi social budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan social budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11 buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit.
             Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materi BIPA belum dapat dikatakan menyentuh tujuan pengajaran BIPA. Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Karena bahasa Indonesia—berlaku juga bagi bahasa lain—tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia, penyajian aspek sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga, pengajaran BIPA dapat juga berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan masyarakat Indonesia kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan optimal apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat bahasa tersebut.
             Ada beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam penyajian materi ajar BIPA. Ababila kita merujuk pada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentajaraningrat (1991), maka ada tujuh unsur, yakni (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup (alat produktif, alat distribusi dan transportasi, wadah dan tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup (berburu dan meramu, pereikanan, bercocok tanam, peternakan, dan perdagangan); (3) system kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan bahasa tulis), (5) kesenian (seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni instrumental, seni sastra, dan seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam, flora, fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama manusia, ruang,
waktu, dan bialangan, dan (7) sistem religi (sistem kepercayaan, kesustraan suci, sistem upacara keagamaan komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan pandangan hidup). Mustakim (2003) mengelompokkan materi yang perlu disajikan dalam buku BIPA yakni (1) benda-benda budaya, (2) gerak-gerik anggota badan, (3) jarak fisik ketika berkomunikasi, (4) kontak pandang mata dalam berkomunikasi, (5) penyentuhan, (6) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat, (7) sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, (9) sistem religi yang dianut masyarakat, (10) mata pencarian, (11) kesenian, (12) pemanfaatan waktu, (13) cara berdiri, duduk, dan menghormati orang lain, (14) keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa basi, (15) pujian, (16) gotong-royong, (17) sopan santun, termasuk eufimisme. Namun, belum semua unsur itu disajikan dan masih ada unsur yang belum mendapat perhatian dam buku
ajar BIPA.
             Berdasarkan klasifikasi di atas, banyak hal yang dapat disajikan dalam materi BIPA. Tampaknya unsur-unsur budaya itu sangat banyak dan beragam di Indonesia. Keberagaman budaya itu terkristalisasi dalam beraneka macam etnis dengan budayanya masing-masing. Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur budaya mana yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika kembali kepada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tampaknya system peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencarian hidup, system kemasyarakatan, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan.
             Suatu kenyataan dalam pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa Indonesia bagi orang asing, bahwa ada realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralisme yang menggunakan bahasa Indonesia dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan keberbedaan itu, pelajar asing akan dapat memahami karakteristik masing-masing. Dengan demikian, pengetahuan yang menyeluruh tentang pluralisme masyarakat Indonesia, di samping kemahiran berbahasa Indonesia, akan diperoleh oleh pelajar secara bersama. Memang selama ini terdapat gambaran yang tidak lengkap tentang masyarakat Indonesia. Mungkin ada yang memandang Indonesia itu adalah Bali, atau sebaliknya. Bahkan, ada citra seolah-oleh Indonesia tidak ada hubungannya dengan Bali.
             Memang tidak diingkari bahwa promosi objek pariwisata tertentu yang gencar dapat saja mengubah citra masyarakat dunia tentang Indonesia yang luas dan beragam. Namun, apabila Indonesia yang luas dengan aneka ragam masyarakatnya dipahamkan melalui pengajaran BIPA, pasti hal itu akan memberikan gambaran yang positif bagi pelajar tentang Indonesia. Dengan demikian, gambaran yang keliru tentang Indonesia akan dapat diluruskan akibat berkembangnya citra yang tidak sehat. Apalagi ada upayaupaya yang dapat menimbulkan citra yang tidak baik terhadap kelompok tertentu diIndonesia. Akibatnya, hubungan yang sudah harmonis, baik di kalangan masyarakat Indonesia sendiri mapun antarmasyarakat luar, akan terganggu. Hal itu tentu tidak diinginkan. Salah satu sarana pemberian informasinya adalah pengajaran BIPA.
             Pendekatan lintas budaya melalui pengajaran bahasa asing itu merupakan cara pemahaman budaya sebagai suatu keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kubutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rintangan proses interaksi. Ada hal-hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan integrasi sosial yang diinginkan. Dengan demikian, kecurigaan-kecurigaan dalam berinteraksi akan dapat dihilangkan.
             Dalam kaitan itu, penulis dan pengajar BIPA dapat memilih unsur-unsur budaya Indonesia dalam buku ajar dan pengembangannya di kelas. Pemilihan itu dilakukan sesuai dengan tujuan pengajaran BIPA, yang menurut saya adalah mahir berbahasa Indonesia dan paham terhadap keberagaman budaya Indonesia.
             Pusat Bahasa telah mencoba menyusun buku pengajaran BIPA dengan memesukkan sosial budaya sebagai teks percakapan dan memberikan catatan budaya dalam setiap unit buku itu. Buku yang berjudul Lentera Indonesia: Penerang untuk Memahami Masyarakat dan Budaya Indonesia menekankan pengenalan masyarakat dan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Cara demikian dilakukan untuk dapat menyelami kehidupan masyarakat Indonesia lebih jauh lagi. Dengan demikian, pelajar BIPA lebih akrab dengan masyarakat bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA.
4. Penutup
             Indonesia yang memiliki kebegaraman budaya penting dipahami oleh pelajar BIPA. Masalahnya, pengajaran BIPA bukan hanya sekadar menghasilkan pelajar yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan juga menjadi wahana untuk memahami keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Walaupun pelajar BIPA belum berkunjung ke Indonesia, diharapkan melalui pengayaan materi BIPA dengan keberagaman budaya Indonesia mereka akan mampu menyerapkan informasi yang utuh tentang Indonesia, khususnya dari khazanah budayanya. Buku ajar yang belum memuat materi keberagaman budaya Indonesia dapat dilengkapi dan diupayakan menjadi sarana strategis untuk mengetahui masyarakat Indonesia. Para penulis dan guru BIPA diharapkan mampu mengolah bahan ajar BIPA menjadi sesuatu yang menarik melalui penyajian materi yang mengutamakan
informasi tentang keadaan masyarakat dan budaya Indonesia. Hal itu penting agar gambaran yang jelas tentang Indonesia dapat dimiliki oleh pelajar BIPA. Kurangnya pemahaman dan pengeahuan tentang Indonesia akan dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang masyarakat Indonesia yang kaya dengan berbagai budayanya.



Daftar Pustaka

Abdul Gaffar Ruskhan
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Aziz, Aminuddin. 2003. ”Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam Praktik Pengajaran Bahasa Asing”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). Proseding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation (IALF).
Bagus, I Gusti Ngurah. 2002. ”Kebudayaan Bali”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Bangun, Pajung. 2002. ”Kebudayaan Batak”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Canale, M. 1980. “Theoretical Bases of the Communicative Approach to Second Language Teaching and Learning”. Dalam Applied Linguistics. 1.1.
Canale, M. 1983. ”From Communicative Competence to Communicative Language Pedagogy”. Dalam J.C. Richards dan R. Schmidt (Ed.) Language and Communication. London: Longman.
Danandjaja, J. 2002. ”Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Harsojo. 2002. ”Kebudayaan Sunda”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan   Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Junus, Umar. 2002. ”Kebudayaan Minangkabau”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kodiran. 2002. ”Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. ”Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan”. Dalam Alfian (Ed.) Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta:
Koentjaraningrat. 2002. ”Kebudayaan Flores”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mahfud, Chairul. 2006. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Pustaka Pelajar. Mattulada. 2002. ”Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mustakim. 2003. ”Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). Proseding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation (IALF).
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Situmorang, Sodjuangan. 2006. ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting, 24—25 August 2006. Jakarta.
Sjamsuddin, Teuku. 2002. Kebudayaan Aceh”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Subiyakto. 2002. ”Kebudayaan Ambon”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

BIODATA
Suhartono, S.Pd. dilahirkan di Surabaya, 22 Mei 1970. Setelah menamatkan studinya di IKIP PGRI Surabaya (Sekarang ADIBUANA Surabaya) tahun 1997. CPNS Di SMA Negeri 8 Surabaya sejak 1 Juli 2008 pengajar bidang studi Bahasa Indonesia.