Selasa, 27 Agustus 2013

Fakta Mengenai Naskah Proklamasi Yang Sebenarnya

naskah-proklamasi
Ketika para pendiri Republik ini (terutama panitia sembilan) berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukadimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka.Dan hendaknya disadari oleh setiap muslim, bahwa Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meskipun syari’at Islam yang dikompromikan, karena pada dasarnya syari’at Islam adalah rahmatan lil’alamiin, bukan hanya untuk umat Islam.
Namun keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, rangkaian kalimat “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Maha esa”.
Teringat dengan Piagam Jakarta maka akan teringat pula dengan tujuh kata yang yang dihapus, ”Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata inilah yang membuat umat islam politik (islamopolithics : orang yang menerapkan nilai-nilai islam dalam kehidupan bernegara/ politik, tidak ada pendiferensiasian antara islam (ibadah) dan politik) menjadi berang hingga saat ini, dan masih sangat mengharapkan agar kata tersebut muncul kembali dalam Sila Pertama Pancasila (Pancasila waktu itu diterima sebagai bagian dari manifestasi islam karena waktu itu pembuat Pancasila menyertakan tujuh butir kata tersebut). Saat ini masyarakat mengalami penyempitan pandangan, bahwa Piagam Jakarta adalah hanya tujuh butir kata yang mengalami penghapusan.
Piagam Jakarta yang sebenarnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar yang biasa kita dengarkan ketika upacara-upacara formal. Seharusnya piagam itulah yang harus dibacakan ketika proklamasi Indonesia dikumandangkan karena di dalamnya telah berisi falsafah dasar berdirinya bangsa ini dan dasar penggerak ketika negara ini akan berkembang (Quo Vadis Indonesia).
Naskah Proklamasi yang kita tahu adalah sebuah kertas dengan tulisan dari Soekarno yang penuh dengan coretan. Bila kita coba mengkrititsi lebih dalam, melihat dan meneliti. Apakah sebuah proklamasi bangsa yang besar ini dibuat dengan sangat tergesa-gesa? Tidak ada Negara di belahan bumi manapun yang mirip dengan Indonesia yang Naskah asli proklamasinya penuh dengan corat-coret sana-sini dan yang parahnya adalah hanya dari pikiran beberapa orang saja.
naskahproklamasi2
Naskah Proklamasi yang sebenarnya adalah Naskah Piagam Jakarta. Soekarno pada waktu itu enggan membacakan Naskah Piagam Jakarta karena di dalamnya masih ada “Tujuh Kata” sakral. Soekarno sangat paham dengan makna kata tersebut dan sejarah yang menyertai prosesinya, seandainya Naskah Piagam Jakarta ini dijadikan Naskah Proklamasi. Ditambah desakan kaum nasionalis muda waktu itu yang memaksa untuk segera diproklamasikannya negeri ini.
Bila kita ingat lagi bersama-sama tentunya pelajaran sejarah di SMA kita dulu. Maka tertulislah nama SM Kartosuwiryo. SM Kartosuwiryo telah mengumandangkan (mengumumkan) kemerdekaan Negara Islam Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945. Hal itulah yang membuat kaum muda menculik Soekarno ke Rengasdenglok, karena takut seandainya negeri ini menjadi negeri islam.
Mengingat SM Kartosuwiryo, imam NII telah mengumandangkan berdirinya negeri islam pada tanggal 15 Agustus. Ahmad Soebardjo yang waktu itu mewakili kaum muda menyarankan Soekarno agar membuat naskah proklamasi seperti pengumuman proklamasi yang dibacakan Kartosuwiryo pada tanggal 15 Agustus 1945. Jadi Naskah Proklamasi kita adalah hanya merupakan Pengumuman Proklamasi bukan suatu naskah yang melandasi jiwa bangsa Indonesia ini. Naskah proklamasi kita adalah naskah proklamasi yang paling aneh bila diandingkan dengan naskah proklamasi dari Negara-negara di belahan dunia lain.
Naskah Piagam Jakarta
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.
Djakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin
Naskah inilah yang semestinya dibacakan ketika Negara Indonesia merdeka…
Sesungguhnya kejahatan yang paling besar terhadap suatu bangsa dan kemanusiaan adalah pemutarbalikan fakta sejarah. Hal ini pasti akan menimbulkan keresahan global. Contohnya dapat kita lihat pada kasus manipulasi sejarah penjajahan Jepang di Korea dan Cina. Apa yang terjadi di Jepang tampaknya juga terjadi di negeri ini. Demikian pula kiranya yang terjadi pada Piagam Jakarta, dan penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mengemuka justru seolah olah jika syari’at Islam diterapkan itu sama dengan menghianati perjuangan para pahlawan.
Ada yang mengungkapkan “Pendahulu-pendahulu kita itu berpikir jauh ke depan. Negara kita kan negara hukum. Landasannya adalah Pancasila dan UUD’45. Ini semua dulu sudah dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam.” Atau ada yang menyatakan bahwa dulu para ormas Islam tidak pernah menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, atau menginginkan syari’at Islam diterapkan di negeri ini.
Fakta Sebenarnya
Bila pembaca ingin detailnya bagaimana perjuangan pendahulu kita untuk tegaknya Islam di Indonesia, silakan membaca buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya H. Endang Saifuddin Anshari (Pustaka, 1983). Pada ruang terbatas ini, kami hanya ingin mengungkap bagian paling penting dari aspek sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimanipulasikan.
Istilah Piagam Jakarta atau Jakarta Charter adalah istilah yang diintroduksikan oleh seorang Muslim nasionalis sekular, Mr. Muhammad Yamin. Ini terlihat dari ungkapan Soekarno dalam sidang BPUPKI tatkala menolak keberatan Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, yang meminta agar anak kalimat bagi pemeluk-pemeluknya dicoret dari pembukaan (preambule): “Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman “Gentleman’s Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap Panitia itu”
Dari ungkapan Ki Bagus yang juga sejalan dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, terlihat bahwa aspirasi golongan Islam yang didukung oleh surat 52 ribu ulama setanah air  bukanlah apa yang tercantum dalam Piagam, yakni:Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, denganberdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan….Indonesia
Akan tetapi, aspirasi golongan Islam yang waktu itu antara lain ditokohi oleh Abikusno Tjokrosoejoso (PSII), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan Abdul Wahid Hasyim (Nahdatul Ulama), adalah:Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam[1], menurut dasar kemanusiaan. Ini terlihat dari ucapan Abikusno untuk menengahi debat Soekarno dengan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah),“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya dari golongan Islam menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi…” . Penjelasan Abikoesno ini disambut dengan tepuk tangan anggota BPUPKI dan akhirnya Hadikusumo menerima dan sidang akhirnya menerima Piagam Jakarta secara bulat.
Sayangnya, gentleman’s agreement ini dilupakan oleh tokoh-tokoh kalangan nasionalis tatkala BPUPKI sudah berubah menjadi PPKI. Saat mengumumkan UUD 1945, hasil sidang BPUPKI berhari-hari yang dipenuhi dengan perdebatan dan kompromi yang susah payah (berupa Mukadimah atau Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD) tiba-tiba diubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Perubahan itu antara lain:
1. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat: berdasarkan kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
3. Sejalan dengan perubahan di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Persetujuan PPKI atas perubahan itulah yang oleh pimpinan Masyumi Prawoto Mangkusasmito dikatakan menimbulkan satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah; menimbulkan kekecewaan golongan Islam. Muhammad Natsir saat itu berkata: “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. InsyaAllah umat Islam tidak akan lupa”
Namun demikian, buru-buru Soekarno sebagai salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas perubahan itu mengatakan bahwa UUD itu sementara, UUD kilat, Revolutiegrondwet. Soekarno menjanjikan bahwa jika kondisi normal akan mengumpulkan MPR untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna (ibid, 43). Akan tetapi, kita melihat fakta sejarah pada sidang-sidang konstituante hasil pemilu 1955, ternyata terjadi deadlock dan Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya kembali kepada UUD 1945 yang Revolutiegrondwet itu. Hal itu berlaku hingga hari ini.
Mengapa Piagam Jakarta masih terus mengemuka? Media Indonesia (30/08/2001) menulis bahwa sebabnya adalah adanya fakta sejarah yang mendukungnya. Dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disebutkan bahwa bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi itu. Kita tahu, dengan dasar hukum dekrit itulah, UUD ’45 berlaku kembali sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia.
Sayang sekali, konsiderans itu ternyata toh tidak pernah menjadi pertimbangan yang sebenarnya. Lebih merupakan beleid politik. Pasalnya, pemerintah Indonesia dengan seluruh sistem hukum dan ketatanegaraannya, pada faktanya sama sekali tidak memperhatikan apa yang ada di dalam Piagam Jakarta serta apa yang menjadi pemikiran dan perasaan umat Islam Indonesia. Bahkan, yang ada justru depolitisasi dan rekayasa sedemikian rupa. Tujuannya agar Islam dalam arti ideologi (Islam mabda’i) atau politik (Islam siyasi) hilang musnah dari permukaan bumi Islam yang bernama Indonesia ini.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta’aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS AnNashr ayat 1-3)
Menyerang isu penerapan syari’at Islam sebagai akan kembali ke masa barbar, atau akan teraniayanya non-Muslim, sungguh kekhawatiran laten dan klise yang dulu diungkapkan oleh Latuharhary pada sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 29) dan muncul lagi pada petang 17 Agustus 1945, yakni tatkala seorang opsir Jepang menyampaikan bahwa orang-orang Kristen Protestan dan Katolik dari Timur enggan bergabung manakala digunakan Mukaddimah dan Batang Tubuh UUD 1945 hasil sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 45-46). Akan tetapi faktanya pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan memenuhi aspirasi mereka), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu sangat kuat keinginannya melepaskan diri dari Indonesia. Kongres Papua, FKM, seolah iri kepada Timtim yang telah berhasil memisahkan diri dari NKRI.
Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:
  1. Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
  2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
  3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, ‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
  4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
  5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.
KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diatas.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagianfounding fathers negeri ini tidak berlaku “amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala…!
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR. Ahmad 45/134)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar