Senin, 16 September 2013

Kincir air
Pak Ahmad dan kincir angin buatannya.
Tentu saja bisa! Karena Pak Ahmad Sanip memanfaatkan listrik dari tenaga air. Simsalabim, Pak Ahmad memang bisa menyulap air jadi listrik! Hihihi, yang pasti bukan dengan ilmu sihir, melainkan dengan ilmu pengetahuan!
Pak Ahmad Sanip, seorang petani yang tinggal di tepi Sungai Curug Panjang, Desa Mega Mendung, Jawa Barat. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana. Di muka rumah itu, Pak Ahmad membuka warung yang dikelola Ibu Nurhalimah, istrinya.

Kandanga Berlistrik
Kandang kambing ini juga diterangi lampu dari kincir air, lho!
Istimewanya, rumah itu dialiri listrik gratis! Ssst, itu karena Pak Ahmad membuat listrik sendiri dari tenaga air! Yup, listrik air buatan Pak Ahmad itu mampu menerangi seluruh rumahnya. Pak Ahmad juga bisa mendengarkan radio listrik dan menyeterika pakaian dengan setrika listrik. Bahkan, kalau Pak Ahmad punya televisi, dia bisa, kok, menyalakan TV dengan listrik tersebut. Wow, keren, ya!
Air sungai Curug Panjang
Aliran sungai Curug Panjang.
Hmm.. gimana caranya, ya?? 
Pak Ahmad memperlihatkan kincir airnya sambil menjelaskan. Mulanya, Pak Ahmad membuat selokan kecil di tepi sungai. Selokan itu berguna untuk menampung air sungai.

Air sungai ditampung atau dibendung, agar air mengalir dengan stabil atau tenang. Air yang mengalir ini kemudian jatuh di atas kincir.
Air yang jatuh itu akan membuat roda kincir berputar. Perputaran kincir ini kemudian dihubungkan ke dinamo, sehingga menghasilkan listrik. Nah, energi listrik ini lalu disalurkan ke rumah-rumah dengan menggunakan kabel. Daya listrik yang dihasilkan kicir air tersebut sekitar 300 watt.
Kicir Air
Setiap 5 bulan sekali, Pak Ahmad memperbaiki bagian kincir yang rusak.
Cara pemeliharaan kincir air itu pun mudah. Yang penting, kincir harus sering diperiksa dan dibersihkan secara teratur. Selain itu, kalau ada bagian kincir yang kendur atau rusak, Pak Ahmad segera memperbaikinya.
Belajar sendiri... 
Pak Ahmad membuat kincir listrik pertama kali pada tahun 1993. Ketika itu, Pak Ahmad masih tinggal di Jonggol, Jawa Barat. Kebetulan, ada seorang tetangganya yang membuat kincir air tersebut. Pak Ahmad pun belajar membuat kicir itu dan mengembangkannya.

Meskipun tidak langsung berhasil, Pak Ahmad tak putus asa. Dia terus mempelajari cara kerja kicir listrik tersebut. Padahal, Pak Ahmad sama sekali tak pernah bersekolah alias buta huruf.
Pada tahun 1999, Pak Ahmad pindah ke Desa Mega Mendung. Dia pun memindahkan kincir air buatannya ke sungai Curug Panjang. Pada saat itu, Pak Ahmad menghabiskan biaya satu juta rupiah untuk membuat kincir listrik tersebut.
Kincir air
Kincir air milik pak Dul Haq, adik Pak Ahmad.
Dengan listrik tenaga air hasil kreasinya, Pak Ahmad bisa menyalurkan listrik ke beberapa rumah. Di antaranya, rumahnya sendiri, rumah orang tuanya, rumah tetangga, mushola, dan kandang kambingnya.

Pak Ahmad tidak memungut biaya sepeser pun atas listrik hasil kreasinya. Selain Pak Ahmad, ada juga Pak Dul Haq, adik Pak Ahmad, yang juga menggunakan kincir air untuk menghasilkan listrik. Kincir air Pak Dul Haq letaknya tak jauh dari kincir Pak Ahmad.
Nah, kalau Pak Ahmad punya ide hebat dan bisa menerapkannya, kita juga harus bisa! Hmm, apa idemu? Membuat listrik dari sinar matahari, gelombang samudera, atau... (Dwi/Bobo)



Kisah lain:
Jika masih ada daerah di Indonesia yang terbelenggu masalah ketersediaan pasokan listrik tetapi memiliki aliran sungai yang deras, solusi yang dapat dicoba adalah mendatangkan Muhammad Tohir. Meskipun tidak pernah belajar secara formal mengenai kelistrikan, pemuda desa ini bisa mengalirkan listrik dari kincir air buatannya.
Pendidikan Muhammad Tohir (25) hanya sampai kelas V sekolah dasar. Namun, dia mampu membangun pembangkit listrik mikro-hidro berupa kincir air dengan memanfaatkan aliran sungai. Karena keterampilan Tohir, warga Desa Candi Jaya di Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, dapat menikmati aliran listrik.
Desa Candi Jaya merupakan desa transmigrasi yang letaknya di lereng Gunung Dempo. Meskipun letaknya hanya sekitar 12 kilometer dari pusat kota Pagar Alam, listrik PLN belum menjangkau desa tersebut sampai sekarang. Akses menuju ke desa itu sebenarnya mudah karena sudah ada jalan beraspal.
Tohir merantau ke Pagar Alam meninggalkan kampung halamannya di Dusun Kroya, Desa Petuguran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada tahun 1999. Tohir mengikuti ajakan pakdenya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Sumsel sebagai petani kopi.
”Tahun 1999 aku teko mrene durung ono listrik, peteng koyo kuburan (tahun 1999 saya datang ke sini belum ada listrik sama sekali, gelap seperti kuburan),” kata Tohir dalam bahasa Jawa, Selasa (24/3).
Hidup tanpa listrik sempat membuat Tohir merasa tidak betah. Dia memutar otak agar Desa Candi Jaya menikmati listrik. Jawabannya ada pada aliran sungai yang deras di desa tersebut. Tohir membujuk warga agar mau bergotong royong membangun kincir air. Pelan-pelan dia berhasil meyakinkan warga.
Tahun 2001 Tohir dibantu tiga warga memulai proyek pembangunan kincir air dengan dukungan dana dari warga desa. Bahkan mereka tidak hanya membangun satu kincir air, tetapi tujuh kincir air. Satu kincir air yang berdiameter 2,5 meter itu mampu menghasilkan listrik 3.000 watt-5.000 watt.
Kondisi alam berbukit-bukit sangat cocok untuk kincir air karena aliran air yang deras adalah syarat utama membangun pembangkit listrik mikro-hidro. Modal untuk membangun satu kincir air lengkap dengan dinamo dan kabel transmisi ke rumah warga yang panjangnya ratusan meter adalah Rp 6 juta-Rp 10 juta.
Awalnya Tohir belum menggunakan dinamo khusus untuk pembangkit listrik, tetapi hanya memanfaatkan dinamo sepeda motor yang diutak-atik. Belakangan warga bisa membeli dinamo khusus pembangkit listrik berkapasitas 3.000 watt.
Setelah tujuh kincir air selesai dibangun, warga Desa Candi Jaya dapat menikmati aliran listrik yang bertahun-tahun hanya menjadi impian. Lampu minyak digantikan lampu listrik. Televisi dan pemutar VCD mudah ditemukan di rumah-rumah warga.
Belajar di kampung
Tohir menjadi ”insinyur” dalam proyek pembangkit itu karena dia pernah belajar cara membuat kincir air di Banjarnegara. Menurut Tohir, sekitar tahun 1992 dia mempelajari cara membuat kincir air dari tetangganya di Banjarnegara bernama Siswanto yang ahli membuat kincir air.
Tohir memutuskan pulang kampung untuk belajar membuat kincir air setelah merasa gagal hidup di Jakarta sebagai pekerja serabutan. ”Saya belajar dari Pak Siswanto selama dua tahun. Pelajarannya tentang elektronika dan teknik membuat kincir air. Saya belajar sekaligus bekerja membuat kincir pada Pak Siswanto,” katanya.
Ilmu membuat kincir air tidak hanya membuat kincir dari kayu supaya tahan lama. Tohir juga belajar cara membuat dinamo, memperbaiki dinamo, menghindari arus pendek, dan masalah transmisi listrik. Tohir juga tahu cara menghitung apakah debit air terjun cukup menghasilkan listrik atau tidak.
Tohir menjelaskan, debit air terjun harus disesuaikan dengan kekuatan dinamo. Misalnya, debit air terjun yang mampu memutar kincir 1.500 putaran per menit (RPM) harus menggunakan dinamo yang sesuai. Karena sudah berpengalaman, Tohir dapat menaksir debit sebuah air terjun hanya dengan melihatnya.
”Kesulitan membuat kincir air kalau lokasinya sulit dijangkau atau ketika sedang banjir. Tetapi, kalau kita yakin, pasti bisa dibangun,” katanya.
Saat Kompas datang ke lokasi kincir air buatan Tohir di Desa Candi Jaya, lokasinya sulit dijangkau karena terletak di dasar jurang sedalam 100 meter dengan kemiringan tebing 70 derajat.
Kincir itu diselimuti lumut tebal karena setiap hari terendam air. Untuk mengaktifkan kincir, cukup dengan membuka pintu saluran yang mengalirkan air. Kincir lalu memutar roda yang dihubungkan dengan dinamo yang mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Sederhana sekali!
Peralatan untuk membuat kincir air hanya linggis, kapak, martil, gergaji, cangkul, parang, dan tatah. Pembuatan kincir air membutuhkan waktu dua minggu jika lokasinya sulit dijangkau dan satu minggu untuk lokasi yang mudah dijangkau.
Upaya Tohir dan warga Desa Candi Jaya mengatasi keterbatasan pasokan listrik terkabar sampai Jakarta. Tahun 2004 Kementerian Negara Koperasi dan UKM memberikan bantuan satu kincir air berdaya 25.000 watt senilai Rp 1 miliar.
Dengan adanya bantuan kincir air itu, semakin banyak warga Desa Candi Jaya yang dapat menikmati aliran listrik. Saat ini ada sekitar 190 warga yang menjadi pelanggan listrik dari pembangkit tersebut dengan jatah 130 watt setiap rumah.
Sayangnya, kegembiraan warga menikmati pasokan listrik berlimpah tidak berlangsung lama. Tahun 2002 terjadi banjir besar yang menghancurkan enam kincir air yang dibangun Tohir bersama warga.
Sekarang tinggal satu kincir air yang masih berfungsi. Listrik dari kincir itu dialirkan ke lima rumah, termasuk rumah Tohir, sehingga pasokan listrik cukup banyak karena setiap rumah mendapat jatah 1.000 watt. Untuk membuat kincir dan dinamo lebih awet, kincir hanya diaktifkan dari sore sampai pagi karena pada siang hari warga kebanyakan pergi ke kebun.
Tohir menuturkan, sementara ini warga merasa belum perlu membangun kembali kincir air yang hancur diterjang banjir karena sudah ada kincir bantuan pemerintah. Meskipun demikian, sebenarnya kincir yang hancur itu perlu diperbaiki sebagai cadangan kalau kincir bantuan pemerintah rusak. Selain itu, kapasitas listrik dari kincir bantuan pemerintah masih terlalu kecil.
Penghasilan sampingan
Keterampilan Tohir membuat kincir air tersebar luas. Kincir itu menjadi dewa penolong bagi daerah pedalaman yang mendambakan aliran listrik. Tohir telah membuat dua kincir air berdasarkan pesanan, yaitu berkapasitas 10.000 watt di Pagar Alam dan berkapasitas 3.000 watt di Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat, Sumsel.
Biaya untuk membangun satu kincir air sebesar Rp 12,5 juta untuk lokasi yang jauh dan Rp 6 juta untuk lokasi yang dekat. Untuk membangun kincir air di desanya sendiri, Tohir tidak memungut bayaran asal warga mau bergotong royong.
Tohir menerima uang jasa Rp 2 juta dari keseluruhan biaya pembangunan kincir air. Uang itu dibagi rata untuk Tohir dan tiga orang yang membantu dia.
Kepandaian membuat kincir air telah diajarkan kepada beberapa warga Desa Candi Jaya. Namun, warga belum mampu menyerap keterampilan itu.
Tohir ingin kepandaian membuat kincir air bisa menjadi mata pencarian utama, tetapi dia kekurangan modal. Pekerjaan utama sebagai petani kopi dengan luas kebun 2 hektar masih belum mencukupi kebutuhan hidup karena merosotnya harga kopi, dari Rp 15.000 menjadi Rp 10.000 per kilogram. Selain itu, kopi hanya dipanen satu tahun sekali.
Meskipun berpendidikan rendah, Tohir dengan keterampilan membuat kincir air mampu menerangi Desa Candi Jaya dan desa-desa lainnya. Jika Indonesia memiliki banyak orang seperti Tohir, tentu masalah kekurangan listrik dapat diatasi dengan upaya warga sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar