Sabtu, 07 September 2013

Mengapa Belanda tak mau akui de jure Kemerdekaan RI 17.8.1945? Mengapa Pemerintah RI Membiarkannya?



Pada 5 Agustus 2013 Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) mengeluarkan Press Release di mana dinyatakan, bahwa pada 5 Agustus 2013 KUKB telah menyampaikan petisi kepada Presiden Republik Indonesia, yang isinya:
Apabila hingga 17 Agustus 2013 pemerintah Belanda tetap menolak untuk:
I.      MENGAKUI DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA ADALAH 17 AGUSTUS 1945,
II.    MEMINTA MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, KEJAHATAN PERANG, KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN DAN PELANGGARAN HAM BERAT, TERUTAMA YANG DILAKUKAN OLEH TENTARA BELANDA SELAMA AGRESI MILITER DI INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 – 1950,
III.   BERTANGGUNGJAWAB ATAS PEMBANTAIAN SATU JUTA RAKYAT INDONESIA DAN KEHANCURAN YANG DIAKIBATKAN OLEH AGRESI MILITER BELANDA DI REPUBLIK INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 – 1950,

Maka, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), mendesak pemerintah Republik Indonesia agar segera:

MEMUTUSKAN “HUBUNGAN DIPLOMATIK” ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA.

(Untuk membaca Teks Petisi dan lampiran-lampirannya silakan klik:
Teks bahasa Inggris, klik:

Dari berbagai reaksi atas petisi ini terungkap,bahwa sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengetahui, bahwa hingga detik ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jurekemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.

Sebagian lagi menganggap, bahwa tahun 2005 pemerintah Belada telah megakui kemerdekaan RI 17.8.1945. Anggapan yang keliru ini disebabkan oleh pemberitaan beberapa media ternama di Indonesia pada 18 Agustus 2005 yang memberitakan berdasarkan pernyataan Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot di Gedung Kemlu RI pada 16.8.2005. Diberitakan, bahwa “AKHIRNYA PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.”

Apabila menyimak dengan teliti yang disampaikan oleh Ben Bot pada 16.8.2005, maka terlihat, bahwa pemberitaan media tersebut salah. Ben Bot tidak mengatakan MENGAKUI (Acknowledge, Recognize) secara yuridis (de jure), melainkan dia mengatakan MENERIMA (Acceptance) secara politis dan moral. Tepatnya dia mengatakan:
“... Through my presence the Dutch government expresses itspolitical and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence ...”
(Teks lengkap dalam bahasa Inggris lihat:

Sehari sebelum berangkat ke Jakarta, pada 15.8.2005 di Den Haag, dia mengatakan lebih tegas lagi, yaitu MENERIMA (AANVARDENDE FACTO :
“... Ik zal  met steun van het Kabinet aan de mensen in IndonesiĆ« duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek IndonesiĆ« de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden ...”
(Teks lengkap dalam bahasa Belanda lihat:

Pada 18 Agustus 2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta, Ben Bot menyatakan, bahwa pengakuan de jurekemerdekaan RI telah diberikan pada akhir tahun 1949.

Seharusnya pernyataan Menlu Belanda ini sangat mengejutkan karena berarti, hingga 15 Agustus 2005 untuk pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak eksis samasekali, dan baru pada 15.8.2005 hanya diterima keberadaannya namun tidak diakui legalitasnya.

Di sini letak kejanggalan hubungan “diplomatik” Indonesia – Belanda, karena Belanda ternyata puluhan tahun tidak mengakui de facto dan de jure eksistensi Republik Indonesia. Baru tahun 2005, Belanda MENERIMA DE FACTO REPUBLIK INDONESIA.

Apabila membuka lembaran sejarah, akan terlihat lebih aneh lagi. Dalam Perjanjian Linggajati tahun 1947, pemerintah Belanda telah MENGAKUI de facto Republik Indonesia, walaupun waktu itu hanya atas Sumatera, Jawa dan Madura.Perundingan di Linggajati yang difasilitasi oleh Inggris berlangsung singkat, dari tanggal 10 – 13 November 1946, dan ditandatangani pada 15 November 1946 di Jakarta. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) meratifikasi Perjanjian Linggajati pada 25 Maret 1947.

Tahun 1947 Belanda sudah MENGAKUI de facto Republik Indonesia, kemudian tahun 2005 MENERIMA de facto?

Negara yang diakui oleh Belanda, yaitu RIS, sudah tidak ada lagi. Namun mengapa pemerintah Belanda mengabaikan etika/hukum internasional, dan tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945?

Ternyata, apabila pemerintah Belanda mengakui de jurekemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mempunyai konsekwensi yang sangat berat untuk Belanda.

Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, pemeritah Nederlands IndiĆ«(India Belanda) menyerah tanpa syarat kepada Jepag dan menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang. Kemudian Jepang sendiri menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu (Allied Forces) pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatagani di atas kapal Missouri di Teluk Tokyo pada 2 September. Oleh karena itu, antara tanggal 15.8. – 2.09.1945 terdapat kekosogan kekuasaan (vacuum of power).

Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemudian diangkat presiden dan wakil presiden serta dibentuk pemerintahan. Pembentukan Negara ini sah sesuai kovensi Montevideo 26 Desember 1933.
(Lihat: KEABSAHAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945, klik:


Belanda tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia Belanda berhasil masuk kembali ke Indonesia, dan kemudian dengan kekuatan militer, berusaha menjajah kembali. Sejarah  mencatat, Belanda tidak berhasil meguasai Indonesia dengan agresi militernya.

Sejarah juga mencatat, selama agresi militer Belanda yang dibantu sekutunya antara tahun 1945 - 1950, telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Indonesia. Diperkirakan korban tewas mencapai satu juta jiwa, sebagian terbesar adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak.

Serangan besar-besaran terhadap Republik Indonesia yang dilancarkan oleh Belanda, dilakukan setelah terwujud perdamaian. Belanda melanggar Perjanjian Linggajati dengan melancarkan agresi I pada 21Juli 1947. Agresi I berakhir degan perundingan perdamaian di atas kapal perang Amerika Serikat Renville. Persetujuan Renville dilanggar lagi oleh Belanda dengan melancarkan agresi militer ke II pada 19 Desember 1948. Sembilan hari setelah Belanda ikut menandatangani Universal Declaration of Human Rights(Pernyataan Umum Mengenai HAM, yang dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948.

Untuk mengelabui opini dunia, Belanda mengemas agresi militernya sebagai “aksi polisional”, yaitu sebagai urusan internal, di mana “polisi” Belanda melancarkan aksi untuk membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Namun dunia internasional tidak terkecoh dengan pernyataan Belanda, sebagaimana diungkap oleh Majalah USA Time, Edisi Senin 4 Agustus 1947. Time juga mengungkap, bahwa yang ikut menyerang adalah marinir Belanda yag dilatih oleh tentara Amerika Serikat. (Lihat:
The Dutch first "Politionele actie", Juli 21 - August, 5, 1947 in the opinion of the international world. "Police Measures", Time Magazine, Monday, Aug. 04, 1947

Dalam pidatonya tanggal 16.8.2005, Ben Bot mengakui terus terang, bahwa pengerahan militer (bukan polisi) secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi yang salah dalam sejarah. Dia mengatakan:
“... In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia ...”

Sekarang, apabila pemerintah Belanda mengakui de jurekemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, maka dengan demikian Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka namakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu negara merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah:
1.    Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG (war reparation) kepada Republik Indonesia, seperti yang telah dibayar oleh Jepang kepada Negara-negara di Asia Tenggara, korban agresi militer Jepang 1942 – 1945.
2.    Veteran Belanda menjadi Penjahat Perang (war criminals).

Hal-hal tersebut di atas yang menjadi dilemma untuk Belanda, apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.

Namun untuk bangsa Indonesia, pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah masalah MARTABAT sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Apabila bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda ini, maka dengan kata lain, bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda, bahwa yang ada di makam-makam pahlawan di seluruh Indoesia adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.

Sejak tahun 2002, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI, kemudian sejak tahun 2005 dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), setiap tahun menyelenggarakan seminar di berbagai daerah di Indonesia mengangkat tema masalah Indonesia dengan Belanda, mengadakan demonstrasi ke kedutaan Belanda di Jakarta serta  menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda dengan tuntutan seperti di atas.
(Kegiatan menuntut pemerintah Belanda sejak tahun 2002. Lihat:


Tahun 2005, Ben Bot juga menyatakan menyesal atas jatuhnya banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Belanda mencatat kehilangan sekitar 6.000 serdadunya dan di pihak Indonesia, Belanda menyatakan korban jiwa sekitar 150.000. Contoh di desa Rawagede, dekat Karawang, menunjukkan, angka korban di pihak Indonesia sangat dikecilkan oleh pemerintah Belanda. Dalam laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969 disebutkan, penduduk sipil yang dibunuh di desa Rawagede “hanya” 20 orang. Kenyataannya korban pembantaian di Rawagede (kini bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947 adalah 431 orang. Diperkirakan, korban tewas di pihak Indonesia mencapai satu juta orang, termasuk korban kejahatan perang tentara Inggris dan Australia yang membantu Belanda tahun 1945 – 1946. Sebagian terbesar korban adalah penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum apapun, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan (sekarang setelah pemekaran provinsi, sebagian termasuk wilayah Sulawesi Barat), Rawagede, Kranggan (dekat Temanggung), dll.

Adalah hak suatu negara untukmengakui atau tidak mengakui eksistensi Negara lain. RI tidak mengakui Israel dan Taiwan, namun ini berlaku timbal balik (resiprokal). Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kedua Negara tersebut. Adalah hak Belanda untuk tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, namun ini juga seharusnya berlaku timbal-balik.

Menurut Prof. Dr. F. Sugeng Istanto SH, hak-hak dari suatu negara (state’s rights) adalah (Lihat Istanto: Hukum Internasional, Yogyakarta 1998):
1.    Hak kemerdekaan,
2.    Hak Kesederajatan (equality),
3.    Hak mempertahankan diri.

Di Belanda banyak tokoh-tokoh masyarakat, bahkan anggota parlemen Belanda yang mendukung tuntutan pengakuan kemerdekaan RI 17.8.1945 (Lihat berita di media di belanda, dalam bahasa Belanda):


Pemeritah Indonesia/Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengetahui dengan jelas sikap pemerintah Belanda, namun MEMBIARKANNYA. Lalu, mengapa pemerintah Republik Indonesia MEMBIARKAN Belanda melecehkan MARTABAT BANGSA INDONESIA? Pemerintah/Kementerian LN RI harus menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai sikap pemerintah RI ini!

Yang jelas, pelecehan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda selama puluhan tahun, yang sangat merendahkan harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat harus segera dihentikan!

Atau … apakah bangsa ini sudah kehilangan MARTABAT?

Apakah kita akan mewariskan kepada anak-cucu kita satu bangsa yang tak bermartabat?

 Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

lihat dibawah ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar