PEMANFAATAN KEBERAGAMAN BUDAYA SURABAYA
DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
BAGI SISWA SMA NEGERI 8 SURABAYA
Oleh
Suhartono, S.Pd
1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional
sekaligus bahasa Negara Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
sudah dikumandangkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 oleh para pemuda
Indonesia pada waktu itu yang merupakan wakil berbagai daerah di Indonesia.
Mereka bersepakat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia
dengan mamasukkannya dalam salah satu butir Sumpah Pemuda yang berisi (1) Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; (2) Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia; (3) Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Mengapa disebut Sumpah Pemuda? Jawabnya adalah
karena para pemuda waktu itu berasal dari berbagai daerah dan wilayah di
Indonesia dengan latar belakang etnis dan budaya, termasuk bahasa, yang
berbeda-beda bersepakat menanggalkan identitas kedaerahan dan keetnikan yang
melebur dalam satu pengakuan bersama, yakni menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan
Indonesia dengan mengukuhkannya dalam Sumpah Pemuda.
Sebagai
bahasa negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi kenegaraan yang berfungsi juga sebagai bahasa
pendidikan, bahasa perencanaan dan pembangaunan, sarana pengembangan ilmu,
teknologi, dan budaya, serta bahasa media massa. Hal itu dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (dalam amandemen tidak berubah) Bab
XV, Pasal 36 yang mengatakan ”bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.
Dalam
konteks pengembangan ilmu, teknologi, dan budaya, tampaknya bahasa Indonesia
sudah mengambil peran. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa Indonesia
telah mampu menjadi sarana pengembangan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan
pengindonesiaan istilah bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Tidak kurang
dari 350.000 istilah asing dalam berbagai bidang ilmu telah diindonesiakan.
Malah, Microsoft telah bekerja sama dengan Pusat Bahasa untuk menerjemahkan
istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, yang dikenal dengan program
komputer berbasis bahasa Indonesia. Dalam pengembangan budaya, bahasa Indonesia
pun telah melaksakanan peran itu karena keberagaman budaya Indonesia
mengharuskan adanya sarana bahasa yang mencakup semua bahasa di Indonesia, dalam
hal ini dilakukan melalui bahasa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan keberagaman budaya Indonsia,
penulis akan mencoba menawarkan pemanfaatan keberagaman budaya dalam pengajaran
BIPA. Hal itu penulis maksudkan agar dapat diperoleh beberapa kemanfaatan dalam
pengajaran BIPA. Seperti pepetah (ungkapan bijak dalam bahasa tradisional)
mengatakan, ”sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” (satu kali
melakukan pekerjaan akan diperoleh banyak manfaat dari pekerjaan yang kita
lakukan itu).
2. Indonesia dengan Keberagaman Budaya
Indonesia sebagai negara kepulauan
memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik
Indonesia,
yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama
(Situmorang, 2006). Di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan
nabati, Indonesia
dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang
memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang,
Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu,
dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat tradisional
yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan Madura;
Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa,
Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak,
Melayu, Banjar, dsb.; Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa,
Manado, dsb.; Maluku: Ambon, Ternate, dsb.; Papua: Dani, Asmat, dsb.) (Lihat
Bangun, 2002:94—116; Bagus, 2002:286—306; Dananjaja, 2002: 118—142; Kalangie,
2002:143—172; Subyakto, 202: 173—189; Koentjaraningrat, 2002: 190—204;
Sjamsuddin, 2002: 229—247; Junus, 202:248—265; Mattulada, 2002:266—285;l Bagus,
2002:286— 306; Harsono, 2002:307—328; Kodiran, 2002:329—352). Ada sekitar 726 bahasa
daerah yang tersebar di seluruh nusantara (Sugono,
2005). Mulai dari penutur yang hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di
Papua, sampai dengan penutur yang berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa
Jawa dan Sunda.
Suku
bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam sebuah
provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya, menempati
tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok Indonesia,
bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula
subsubetnis dengan subbudaya yang berbeda pula, misalnya, Solo, Yogyakarta,
sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya,
bahwa orang Solo di Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai
masyarakat yang memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi
bahasa yang santun. Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak
jarang pula masyarakat daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun
pada hakikatnya hatinya lembut. Selain itu, di Sumatra dikenal pula suku bangsa
Minangkabau, yang menempati Provinsi Sumatra Barat, sebagian Provinsi Jambi dan
Bengkulu, disamping tersebar di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Semenanjung
Malaysia. Orang Minang—sebutan untuk masyarakat Minangkabau—memiliki budaya
yang unik jika dibandingkan dengan masyarakat suku lain. Mereka terkenal dengan
pandai berdagang dan banyak menjadi sastrawan semasa Balai Pustaka dan Pujangga
Baru dan tokoh kemerdekaan di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Keunikan
budaya Minang terlihat dari sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal).
Sosok ibu menjadi dasar penentuan nama keluarga (family). Bahkan, dalam
adat Minang selain nama keluarga berasal dari keluarga ibu, seseorang laki-laki
yang sudah menikah akan diberi gelar adat sehingga, menurut adat yang berlaku
di Minang—yang bersangkutan harus dipanggil dengan gelarnya, bukan nama
kecilnya. Misalnya, seseorang bernama Abdullah yang setelah menikah
diberi gelar Sutan Maharajo (’Sultan Maharaja’) harus dipanggil dengan Sutan
atau Marajo, sesuai dengan pepatah ”Ketek banamo, gadang bagala” (kecil
diberi nama, besar diberi gelar). Di luar Minang biasanya seorang istri akan
tinggal di rumah keluarga suami, sebaliknya di Minang suami akan tinggal di
rumah istri. Apabila keluarga suami-istri ingin
membangun rumah baru, lokasinya masih berada di sekitar rumah orang tua istri
(mertua). Dengan demikian, akan berkembang keluarga besar dari pihak istrinya.
Akibatnya, anak akan hidup dilingkungan keluarga istri dan itulah uniknya
budaya kekerabatan di Minang.
Sebagai
masyarakat yang menganut agama Islam, budaya Minang terlihat berpadu dengan
budaya Islami. Dasar kemasyarakatan di Minang tertuang dalam prinsip adat,
yakni ”adat bersandikan syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan Kitabullah
(Alquran)”. Dengan demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi keberagamaan
yang kuat. Biasanya, tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka merantau ke
negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang kuat itu
masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana pun
mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu berintegrasi
dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di mana pun di
Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan dengan Kampung
Minang. Agak berbeda dengan masyarakat
etnis lain, seperti Jawa, Madura,
Bugis,
atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung Madurua, Kampung
Bugis, atau Kampung Cina.
Keberagamaan masyarakat Madura tidak
berbeda dengan keberagamaan seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Minang, dan
Bugis. Etnis itu dikenal dengan penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat
dimungkiri bahwa pengaruh teknologi modern berdapak terhadap keberagamaan
masyarakat.
Bali pun-yang sudah dikenal oleh
masyarakat mancanegara-memiliki agama mayoritas Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu
mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu menyatunya Hindu dalam kehidupan mereka,
kehidupan sosial dan pemerintahan pun dipengaruhi Hindu. Barangkali tingkat
keberagamaan di Bali lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat keberagamaan
masyarakat dari etnis lain. Hal itu ditandai dengan setiap aktivitas mereka
tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Shang Widhi) yang
terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada hal yang menarik lagi di
Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam sistem itu
setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah yang
tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang diatur
dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan
diwilayah lain di Indonesia.
Agama
pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi masyarakat
Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam (animisme). Akan
tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam agama resmi, yakni
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui Konghucu.
Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup beragama. Memang
konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah tumbang, tetapi
keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan antarumat
beragama. Apalagi sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang ditandai
dengan jatuhnya pemerintahan Soharto, mantan Presiden Kedua Republik Indonesia,
kehidupan masyarakat Indonesia lebih transparan. Setiap orang mempunyai hak
yang sama di negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan tumbuh berkembangnya budaya
Cina, termasuk pengakuan terhadap agama Konghucu bagi masyarakat keturunan Cina
di Indonesia. Angin segar itu disambut bahagia oleh masyarakat keturunan Cina,
yang selama ini mereka agak dimarginalkan dalam system pemerintahan Orde Baru.
Dari sudut keagamaan
itu, Islam di Indonesia mencapai 87 persen. Dengan jumlah itu tidaklah berarti
bahwa kehidupan sosial politik tidak memperhatikan keberagaman agama. Di
Indonesia tradisi keberagaman agama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
sangat menonjol. Sebagai warga dengan jumlah mayoritas, umat Islam di Indonesia
sangat memperhatikan kerukunan antarumat beragama. Prinsip-prinsip agama
sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk seluruh isi alam sangat mereka
perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar kemasyarakatan yang tidak dapat
diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi toleransinya sehingga
gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi
kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi politik
kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada upaya-upaya
untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap kerukunan umat
beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja diciptakan oleh
orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil. Akibatnya,
umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadangkadang disesalkan
oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam konflik yang
tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah mereka
warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan kerukunan
yang sejati.
3. Pengenalan Budaya Indonesia melalui Pengajaran Bahasa Indonesia
Dalam pengajaran BIPA memang ada buku yang telah
memanfaatkan budaya Indonesia,
namun belum semua buku penbgajaran BIPA menyajikan materi yang menyentuh
kebudayaan Indonesia.
Berdasarkan
penelitian Mustakim (2003), dari 43 buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%)
buku yang menyajikan materi social budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19
buku (44%) yang belum menyajikan social budaya Indonesia secara optimal.
Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11 buku tidak menyajikan sama
sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada menyinggungnya, tetapi
porsinya sangat sedikit.
Dari
gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materi BIPA belum dapat dikatakan menyentuh
tujuan pengajaran BIPA. Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam hal ini
bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Karena bahasa Indonesia—berlaku juga bagi bahasa lain—tidak
dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia,
penyajian aspek sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga, pengajaran
BIPA dapat juga berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan masyarakat
Indonesia kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan optimal
apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang berlaku
dalam masyarakat bahasa tersebut.
Ada
beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam penyajian materi ajar BIPA.
Ababila kita merujuk pada unsur budaya yang dikemukakan oleh Koentajaraningrat
(1991), maka ada tujuh unsur, yakni (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup
(alat produktif, alat distribusi dan transportasi, wadah dan tempat untuk
menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan,
serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup (berburu dan meramu, pereikanan,
bercocok tanam, peternakan, dan perdagangan); (3) system kemasyarakatan (sistem
kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan, sistem
kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan bahasa tulis), (5) kesenian (seni
patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni instrumental,
seni sastra, dan seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam, flora,
fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama manusia, ruang,
waktu,
dan bialangan, dan (7) sistem religi (sistem kepercayaan, kesustraan suci, sistem
upacara keagamaan komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan pandangan
hidup). Mustakim (2003) mengelompokkan materi yang perlu disajikan dalam buku
BIPA yakni (1) benda-benda budaya, (2) gerak-gerik anggota badan, (3) jarak
fisik ketika berkomunikasi, (4) kontak pandang mata dalam berkomunikasi, (5) penyentuhan,
(6) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat, (7) sistem nilai yang berlaku
dalam masyarakat, (9) sistem religi yang dianut masyarakat, (10) mata pencarian,
(11) kesenian, (12) pemanfaatan waktu, (13) cara berdiri, duduk, dan menghormati
orang lain, (14) keramah-tamahan, tegur sapa, dan basa basi, (15) pujian, (16)
gotong-royong, (17) sopan santun, termasuk eufimisme. Namun, belum semua unsur
itu disajikan dan masih ada unsur yang belum mendapat perhatian dam buku
ajar
BIPA.
Berdasarkan klasifikasi di atas,
banyak hal yang dapat disajikan dalam materi BIPA. Tampaknya unsur-unsur budaya
itu sangat banyak dan beragam di Indonesia. Keberagaman budaya itu
terkristalisasi dalam beraneka macam etnis dengan budayanya masing-masing.
Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur budaya mana yang diperlukan
disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika kembali kepada unsur budaya yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat tampaknya system peralatan dan perlengkapan
hidup, sistem mata pencarian hidup, system kemasyarakatan, kesenian, sistem
pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan.
Suatu kenyataan dalam pengajaran
bahasa asing, dalam hal ini bahasa Indonesia bagi orang asing, bahwa ada
realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralisme yang menggunakan bahasa
Indonesia dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan keberbedaan itu, pelajar
asing akan dapat memahami karakteristik masing-masing. Dengan demikian,
pengetahuan yang menyeluruh tentang pluralisme masyarakat Indonesia, di samping
kemahiran berbahasa Indonesia, akan diperoleh oleh pelajar secara bersama. Memang
selama ini terdapat gambaran yang tidak lengkap tentang masyarakat Indonesia.
Mungkin ada yang memandang Indonesia itu adalah Bali, atau sebaliknya. Bahkan,
ada citra seolah-oleh Indonesia tidak ada hubungannya dengan Bali.
Memang
tidak diingkari bahwa promosi objek pariwisata tertentu yang gencar dapat saja mengubah
citra masyarakat dunia tentang Indonesia yang luas dan beragam. Namun, apabila
Indonesia yang luas dengan aneka ragam masyarakatnya dipahamkan melalui pengajaran
BIPA, pasti hal itu akan memberikan gambaran yang positif bagi pelajar tentang
Indonesia. Dengan demikian, gambaran yang keliru tentang Indonesia akan dapat
diluruskan akibat berkembangnya citra yang tidak sehat. Apalagi ada upayaupaya yang
dapat menimbulkan citra yang tidak baik terhadap kelompok tertentu diIndonesia.
Akibatnya, hubungan yang sudah harmonis, baik di kalangan masyarakat Indonesia
sendiri mapun antarmasyarakat luar, akan terganggu. Hal itu tentu tidak diinginkan.
Salah satu sarana pemberian informasinya adalah pengajaran BIPA.
Pendekatan
lintas budaya melalui pengajaran bahasa asing itu merupakan cara pemahaman
budaya sebagai suatu keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap
lingkungan dalam rangka memenuhi kubutuhan dan pencapaian tujuan setelah
melalui rintangan proses interaksi. Ada hal-hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu
kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan integrasi
sosial yang diinginkan. Dengan demikian, kecurigaan-kecurigaan dalam berinteraksi
akan dapat dihilangkan.
Dalam
kaitan itu, penulis dan pengajar BIPA dapat memilih unsur-unsur budaya
Indonesia dalam buku ajar dan pengembangannya di kelas. Pemilihan itu dilakukan
sesuai dengan tujuan pengajaran BIPA, yang menurut saya adalah mahir berbahasa
Indonesia dan paham terhadap keberagaman budaya Indonesia.
Pusat
Bahasa telah mencoba menyusun buku pengajaran BIPA dengan memesukkan sosial
budaya sebagai teks percakapan dan memberikan catatan budaya dalam setiap unit
buku itu. Buku yang berjudul Lentera Indonesia: Penerang untuk Memahami
Masyarakat dan Budaya Indonesia menekankan pengenalan masyarakat dan budaya
Indonesia melalui pengajaran BIPA. Cara demikian dilakukan untuk dapat menyelami
kehidupan masyarakat Indonesia lebih jauh lagi. Dengan demikian, pelajar BIPA
lebih akrab dengan masyarakat bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA.
4. Penutup
Indonesia yang memiliki kebegaraman
budaya penting dipahami oleh pelajar BIPA. Masalahnya, pengajaran BIPA bukan
hanya sekadar menghasilkan pelajar yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan juga
menjadi wahana untuk memahami keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Walaupun pelajar BIPA belum berkunjung ke Indonesia,
diharapkan melalui pengayaan materi BIPA dengan keberagaman budaya Indonesia mereka akan mampu menyerapkan
informasi yang utuh tentang Indonesia,
khususnya dari khazanah budayanya. Buku ajar yang belum memuat materi
keberagaman budaya Indonesia
dapat dilengkapi dan diupayakan menjadi sarana strategis untuk mengetahui
masyarakat Indonesia.
Para penulis dan guru BIPA diharapkan mampu
mengolah bahan ajar BIPA menjadi sesuatu yang menarik melalui penyajian materi
yang mengutamakan
informasi tentang keadaan masyarakat dan budaya
Indonesia. Hal itu penting agar gambaran yang jelas tentang Indonesia dapat
dimiliki oleh pelajar BIPA. Kurangnya pemahaman dan pengeahuan tentang
Indonesia akan dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang masyarakat Indonesia
yang kaya dengan berbagai budayanya.
Daftar Pustaka
Abdul Gaffar Ruskhan
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Aziz,
Aminuddin. 2003. ”Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam Praktik Pengajaran
Bahasa Asing”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise Finney (Editor). Proseding
Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV.
Denpasar: Indonesian Australia
Language Foundation (IALF).
Bagus, I Gusti Ngurah. 2002. ”Kebudayaan Bali”.
Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan. Bangun, Pajung. 2002. ”Kebudayaan Batak”. Dalam Koentjaraningrat
(Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Canale,
M. 1980. “Theoretical Bases of the Communicative Approach to Second Language
Teaching and Learning”. Dalam Applied Linguistics. 1.1.
Canale,
M. 1983. ”From Communicative Competence to Communicative Language Pedagogy”.
Dalam J.C. Richards dan R. Schmidt (Ed.) Language and Communication. London: Longman.
Danandjaja, J. 2002. ”Kebudayaan Penduduk
Kalimantan Tengah”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Harsojo. 2002. ”Kebudayaan Sunda”. Dalam
Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Junus,
Umar. 2002. ”Kebudayaan Minangkabau”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kodiran.
2002. ”Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat.
1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. ”Persepsi Masyarakat
tentang Kebudayaan”. Dalam Alfian (Ed.) Persepsi
Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta:
Koentjaraningrat. 2002. ”Kebudayaan Flores”. Dalam
Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mahfud,
Chairul. 2006. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Pustaka Pelajar. Mattulada.
2002. ”Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam
Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mustakim.
2003. ”Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA”. Dalam Nyoman Riasa
dan Danise Finney (Editor). Proseding Konferensi Internasional Pengajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia
Language Foundation (IALF).
Ranjabar,
Jacobus. 2006. Sistem Budaya Indonesia:
Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Situmorang,
Sodjuangan. 2006. ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata
Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific
South West Divisional Meeting, 24—25 August 2006. Jakarta.
Sjamsuddin,
Teuku. 2002. Kebudayaan Aceh”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Subiyakto.
2002. ”Kebudayaan Ambon”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
BIODATA
Suhartono,
S.Pd. dilahirkan di Surabaya,
22 Mei 1970. Setelah menamatkan studinya di IKIP PGRI Surabaya (Sekarang ADIBUANA
Surabaya) tahun 1997. CPNS Di SMA Negeri
8 Surabaya sejak 1 Juli 2008 pengajar bidang studi Bahasa Indonesia.